Pancake Istimewa

22 3 0
                                        

Aroma vanilla bercampur kayu manis menguar ke seluruh penjuru dapur. Adonan itu telah jadi dan siap dipanaskan di atas teflon. Sejak tadi, mungkin selepas subuh, Laksmita sudah berkutat di dapur, sibuk sendiri lebih tepatnya. Rencana, dia ingin membuatkan orang rumah sarapan pagi yang berbeda dari biasanya. Berhubung suasana hatinya sedang baik, dia rela bangun pagi demi membuat pancake enak sesuai resep yang telah dipelajarinya melalui Youtube.

Hati-hati, Laksmita menaruh adonan pada teflon membentuk lingkaran padat. Sambil menunggu matang agar bisa dibalik, Laksmita lanjut memotong buah strawberry yang sudah dibersihkan tadi. Selain itu, dia pun menyiapkan empat piring berukuran sedang untuk meletakkan pancake yang sudah matang nanti.

Saking seriusnya Laksmita, dia tidak menyadari kedatangan Papa yang sudah berdiri di sampingnya sejak lima menit yang lalu. Papa senyam senyum sembari mengangguk-angguk melihat anak bungsunya asyik sendiri. Batinnya, Laksmita sudah mirip chef yang sedang bekerja di dapur, menyiapkan makanan untuk pelanggan.

"Serius banget masaknya. Buat apa? Wangi banget sampe depan rumah," celetuk Papa. Mendengar itu, Laksmita menoleh sambil mengerutkan dahi. Dia merasa malu, ingin rasanya kabur, lalu ngumpet di bawah meja. Maklum, papanya, kan, termasuk pecinta kuliner. Punya usaha restoran cepat saji. Bagaimana kalau pancake buatannya malah tidak enak rasanya? Ah, mendadak pikiran Laksmita penuh dengan asumsi sendiri.

Laksmita mendesah pelan. Dia sekarang sibuk membalik pancake di teflon. "Kapan Papa ke sini? Aku, kok, nggak liat datengnya, toh?"

"Salah siapa serius banget. Masa, papanya dateng sampe nggak sadar? Tumben aja, seorang Laksmita masak-masak di dapur. Kesambet apa, Dek?" Setelahnya, Papa mengambil mangkuk berisi adonan pancake racikan Laksmita, kemudian mencelupkan telunjuknya ke sana. Dia merasakan saksama sedikit adonan yang diambilnya tadi.

"Pa, ngapain dicobain? Duh, nanti aja kali kalau udah jadi pancake-nya." Belum sempat menjawab pertanyaan Papa sebelumnya, Laksmita dikagetkan dengan Papa yang malah mencoba adonan pancake asalnya itu. Semoga saja perutnya aman sentosa. Dia lupa mencampurkan apa saja ke dalamnya. Katanya yang penting hasil akhirnya enak--dan bisa dimakan tentunya.

"Enak, kok. Kamu dapet resep dari mana ini?"

Tidak disangka, Papa malah memuji adonan pancake yang asal-asalan buatnya itu. Laksmita tertegun hingga terasa kedua bawah matanya seperti membendung cairan yang akan tumpah sebentar lagi. Pasalnya, dia jarang sekali masak. Lebih suka pesan makanan online atau jajan di luar. Kadang kala, kalau Mama sempat memasak, barulah Laksmita ikut bergabung, itu saja jarang. Soalnya, Mama, kan, sibuk sekali di rumah sakit.

"Itu beneran muji apa malah ngece, Pa?" tanya Laksmita saking tidak percaya oleh Papa yang berkata jujur barusan.

Papa berdecak pelan. "Ya ampun. Ini beneran enak, Laksmita. Udah cepetan dijadiin pancake-nya, Papa ndak sabar pengen makan makanan yang dibuat anak sendiri. Pasti istimewa banget."

"Ah, Papa jangan gombal mulu. Mending Papa nunggu aja di meja makan. Biar aku bisa konsentrasi bikinnya," ujar Laksmita setengah mengusir. Padahal, itu karena wajahnya yang perlahan memanas dilanda malu.

"Kayaknya, ada yang beda dari kamu. Papa lihat-lihat, kamu lebih berseri-seri dari biasanya. Kenapa, tuh? Lagi jatuh cinta, ya?" Tidak ada hujan atau angin badai, Papa seketika bertanya begitu. Jatuh cinta? Apa itu? Seperti sudah lama, Laksmita tidak merasakan itu. Bahkan, memang kenyataannya belum pernah. Dia hanya pernah merasa nyaman dengan teman sendiri.

"Mana ada, Pa. Biasa aja. Seneng, kan, karena aku mau buat sarapan pancake untuk orang rumah," balas Laksmita apa adanya. Satu adonan terakhir siap ditaruh teflon. Sebentar lagi dia akan menyelesaikan acara meramu pancake jadi-jadiannya..

Papa tersenyum samar seraya bersiul pelan seraya menggoda anaknya itu. Kemudian, Papa mendekati Laksmita, membisikan sesuatu tepat di telinga cewek itu.

"Jangan boong. Papa tau kamu semalem pulang-pulang bawa boneka beruang. Itu dari siapa kalau buka  pacar? Papa nggak percaya kalau kamu iseng beli boneka beruang. Papa tau, anak bungsu Papa yang satu ini kurang suka boneka, apalagi yang ukurannya jumbo gitu."

Sial. Laksmita merasa waktu berhenti bergerak. Jantungnya pun tertahan agar tidak berdetak seperti biasa. Bagaimana bisa Papanya malah memergoki aksi mengendap-endapnya semalam? Perasaan, Laksmita yakin semua orang di rumah sudah berada di kamar mereka masing-masing. Ah, kadar malunya makin bertambah sekarang.

"Itu dikasih temen, Pa. Kebetulan, pas ulang tahunku dia lupa kasih hadiah. Terus, aku lagi nggak punya pacar, kok. Jomlo lebih enak dan bebas." Semoga Papa percaya.

"Halah, dari pacar juga nggak masalah. Papa juga pernah muda. Takut banget kalau ketauan sama orang tua pas lagi deket sama cewek. Tapi lama-lama orang tua paham kalau anaknya lagi jatuh cinta, jangan banyak dilarang. Intinya, mereka cuma pesen, bisa tanggung jawab, nggak sampe hamil di luar nikah." Wajar, Papa adalah seorang laki-laki. Namanya cinta, tentu tidak lepas dari hawa nafsu yang melanda jiwa. Bisa saja, ketika berduaan di tempat yang sepi, setan ikut campur dalam urusan di antara pasangan, kan?

Selesai mematikan kompor, Laksmita baru menjawab. "Amit-amit kalau sampe hamil di luar nikah, Pa. Lagian, Papa sendiri tau kalau anak perempuan Papa yang satu ini jomlo abadi."

"Iya, jomlo abadi, tapi banyak yang sayang, kan?" Papa mengerling disertai tersenyum jail. "Ngomong-ngomong, kayaknya dulu kamu punya temen cowok namanya Juvena. Dia ke mana sekarang? Udah lama nggak liat."

Laksmita mengendik. "Nggak tau. Lagi merantau mungkin. Aku juga udah nggak kontakan lagi sejak lulus dari SMA."

Ngapain, sih, Papa pake nyebut nama dia segala? Bikin bete.

"Hm, Papa tiba-tiba kangen aja. Karena udah lama Juvena nggak ke sini. Biasanya, kalau dia ke rumah, kita main catur bareng terus cerita soal sejarah Indonesia. Sekarang, mana ada. Paling Aufan yang Papa ajak pergi ke pasar beli keperluan restoran," ucap Papa sambil menerawang ke arah jendela dapur yang tembusnya langsung ke halaman belakang.

Laksmita menghela napas. "Doakan aja semoga dia selalu baik-baik aja, Pa." Dia lalu membawa dua empat piring berisi pancake dengan nampan menuju meja makan. Semua sudah siap, tinggal dinikmati.

Bersamaan dengan itu, Mama dan Bang Jaki juga bersamaan keluar dari kamar. Mereka terhenti sebentar begitu aroma pancake hangat menyerbak, memasuki rongga hidung.

"Ih bau apa ini enak banget. Papa masak apa?" celetuk Jaki yang langsung melebarkan kedua mata setelah sebelumnya nyawanya baru terkumpul setengah.

"Bukan Papa yang masak, tapi Laksmita. Dia habis buat pancake," jawab Papa sambil duduk di kursi, siap sedia makan pancake buatan anak kesayangan.

Bang Jaki mengernyit, lalu melirik sekilas adiknya yang sibuk menuang air dalam gelas. "Serius kamu, La? Kesambet apa, dah?"

"Berisik, Bang! Kalau nggak mau yaudah!" Laksmita menjawab sengit.

Mama tertawa kecil, kemudian ikut duduk di sebelah Papa. Tanpa berlama-lama Mama langsung mengigit pinggiran pancake kecokelatan itu. "Hm enak banget, La. Adonannya lembut, nggak alot. Tingkat kematangannya pas." Pujian Mama itu sukses membuat mood Laksmita kembali naik.

"Kayaknya, ada yang lagi berbunga-bunga, nih!" sindir Jaki sambil memotong pancake menjadi dua. Namun, sindirian itu tidak digubris oleh Laksmita. Karena mendadak nada dering ponsel cewek itu terdengar nyaring dari dalam kamar. Terpaksa, Laksmita gegas mengecek, siapa tau ada telpon penting, ada kuliah dadakan misalnya.

"Apaan? Kenapa pake telpon segala?" Rupanya, nama Aufan yang tertera pada layar ponselnya. Membuat Laksmita agak jengkel. Sebab cowok itu telah merusak suasana.

"Jangan marah dulu. Mending kamu keluar sebentar. Aku udah di depan rumah. Mau ngomong sesuatu, ini penting banget!"

"Kenapa nggak lewat telpon aja? Lagi males keluar!" Lalu sambungan telepon itu sengaja diputus oleh Laksmita tidak menunggu Aufan bicara lagi. Tidak lama, cewek itu mendapat satu chat WhatsApp dari Radefa.

Radefa:
La, kamu di rumah, kan? Buruan keluar. Aku udah di depan gerbang, nih. Sama temen kamu, namanya Aufan.

Laksmita menaikkan salah satu alisnya. "Mereka janjian apa gimana?" []

CHECK PATTERNWhere stories live. Discover now