Happy reading~
.
.
.
"Tuhan tidak akan pernah salah memberikan pasangan yang dikehendakkan. Maka mari merangkai kembali untaian yang semula kusut dan berantakan."
"Mbok, memangnya kalau Arumi sedang keluar sama saya, Mbok Nimas khawatir? Khawatir karena apa? Ada alasan yang masuk di akal? Karena kan ... Arumi perginya sama saya, bukan sama pria asing."
Mula-mula Adinatha mengingat ucapan Arumi, namun lama kelamaan hal tersebut terus saja berputar di dalam kepala, begitu mengganjal hati karena merasa Arumi jelas akan aman jika pergi dengannya. Adinatha merasa harus tahu semuanya, agar pikirannya tidak berputar-putar mengingat ucapan sang istri.
Yang ditodong pertanyaan pun kian gelisah, tanpa sadar meremas jari jemari. Kendati Adinatha bertanya dalam mode santai, yang terdengar di rungu Mbok Nimas tentu saja sebuah tuntutan agar wanita itu menjawab sesuai kemauan hati sang majikan.
"Mbok, saya tanya baik-baik kenapa susah sekali jawabnya."
"Anu... Mas Adi, Non Rumi kan sering dimarahi Mas Adi... jadi saya sering khawatir kalau Non pergi berdua sama Mas Adi. Khawatir bertengkar di luar lalu Non ditinggal, kasihan."
Adinatha menghela napas, pelipisnya dia pijat karena terasa berdenyut-denyut. Karakter antagonis rupanya sudah begitu melekat pada dirinya, dan hal itulah yang ada di pikiran Mbok Nimas dan Arumi.
"Mulai sekarang nggak perlu khawatirin Arumi lagi, mulai sekarang saya nggak akan marah-marah sama dia. Sebagai gantinya tolong Mbok Nimas bantu saya supaya Arumi punya waktu lebih banyak sama saya, nggak melulu yang diingat Mbok Nimas. Seakan-akan saya ini orang ketiga di antara kalian."
Mbok Nimas mengangguk, langkahnya mundur seiring Adinatha mengizinkan dirinya untuk kembali beristirahat. "Mungkin Mas Adi sengaja mau dekati Non supaya bisa pisah dengan baik-baik." Mbok Nimas bermonolog sendiri sepanjang kakinya melangkah menuju kamar yang ditempati.
Malam sudah semakin larut, Adinatha pun harus segera beristirahat setelah lelah seharian berkeliling mengajak Arumi mengunjungi tempat wisata. Jemarinya mengetuk meja, kepalanya sibuk memikirkan sesuatu untuk dia jadikan alasan agar malam ini dapat tidur satu ranjang dengan sang istri.
Mondar-mandir seperti tengah dikejar deadline pekerjaan, Adinatha masih berpikir keras sampai hampir setengah jam pria itu begitu saja di dalam ruang kerja. Suara petir yang menggelegar seakan meloloskan sesuatu yang tersendat di dalam kepala. Adinatha menyeringai tipis lantas mengambil laptop dan ponselnya.
Kondisi rumah sudah begitu hening, lampu-lampu pun sudah padam. Langkah Adinatha berjalan menuju kamar milik Arumi. Tangannya mengetuk daun pintu beberapa kali, menunggu si empunya kamar menjawab dan membukakan pintu.
"Arum...." Adinatha berseru pelan, kembali mengetuk pintu karena tidak kunjung mendapat jawaban.
Menyerah untuk menunggu dengan sabar, Adinatha membuka daun pintu tersebut lantas melongokkan kepala. Dilihatnya Arumi yang tengah mengerjapkan mata di atas kasur, kemungkinan baru terjaga dan hendak membukakan pintu.
"Kenapa Mas?" Sepasang mata Arumi semakin mengerjap, kini Adinatha sudah berjalan masuk begitu saja ke dalam kamar. "Mas, ini kamar saya."
"Tau."
"Lalu kenapa kamu masuk kamar ini?"
Adinatha pura-pura batuk, dia menunjuk jendela yang baru saja terlihat terang akibat kilatan di luar. "Banyak geledek, barangkali kamu takut tidur sendirian."
Arumi menggelengkan kepala, pandangan matanya mengikuti siluet tubuh Adinatha yang kini berjalan ke sisi ranjang yang lain. "Saya nggak takut, sudah biasa saya tidur sendirian, bahkan listrik padam waktu kamu sedang dinas di luar kota pun saya masih bisa tidur nyenyak dan mimpi indah."
YOU ARE READING
ASTUNGKARA (selesai)
RomanceASTUNGKARA -sebuah harapan melalui ikatan pernikahan- . . Sebuah pernikahan dianggap dapat memutus sebuah tali kebencian. Sebuah pernikahan dianggap dapat menjadi jembatan baru untuk mengulang kembali hubungan erat dua keluarga yang sempat terputus...
