Happy reading~
.
.
.
"Tidak perlu mengingat hal lain, cukup kita saja untuk menciptakan kenangan baru bersama."
Bahkan sekali pun Arumi tidak pernah membayangkan akan berjalan berdampingan dengan Adinatha yang tengah mendorong stroller belanja, sementara dirinya hanya bertugas untuk menyebutkan barang apa saja yang perlu dibeli.
Sesekali melirik Adinatha yang terlihat serius, kepala Arumi menekur, berpikir apakah hari ini dirinya sudah membuat salah sehingga Adinatha tengah menyiapkan sesuatu untuk membalas kesalahan Arumi. Kepala wanita itu menggeleng, teringat saat Adinatha mendekapnya.
Namun kalau dipikirkan lagi, itu bukanlah kesalahan Arumi, Adinatha yang berinisiatif sendiri. Lalu kenapa Adinatha mendadak bersikap selayaknya seorang suami yang baik hati dan pengertian?
"Mas Adi," Arumi memberanikan diri untuk bersuara, menahan stroller belanja saat lorong toko tengah sepi. "Saya buat salah sama kamu? Kalau memang iya tolong kasih tau sekarang. Supaya saya nggak kaget kalau nanti Mas Adi turunin saya di tengah jalan."
Adinatha mengerutkan dahi. Pria itu menoleh ke sisi lain, memastikan tidak ada orang lain yang ikut mendengar obrolan mereka. Tatapannya tertuju kembali kepada Arumi yang tengah mendongak menatapnya.
Merubah diri agar lebih perhatian dan lembut rupanya tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, Adinatha harus berusaha mengontrol emosinya agar tidak mudah meledak seperti biasanya.
Cukup perhatikan saja manik mata Arumi, kalau memang masih sulit, Adinatha hanya perlu menatap bilah bibir Arumi yang kecil dan menggemaskan itu. Adinatha pasti akan melunak dengan sendirinya.
Tetapi sialnya, dengan menatap Arumi begitu justru membuat dirinya ingin mendorong stroller belanja sejauh mungkin, menarik pinggang Arumi agar terkikis jarak di antara mereka, lalu mendaratkan sebuah ciuman yang mampu membuat mereka mabuk kepayang.
'Sialan!'
Adinatha mengumpat di dalam hati. Pikirannya menjadi semakin tidak terkendali tatkala manik mata Arumi mengerjap. Seperti tengah memohon di bawah kendali dirinya, memohon agar Adinatha mengampuni.
"Nggak ada, Rum. Kamu nggak buat salah, saya juga nggak punya rencana buat turunin kamu di tengah jalan." Ucap Adinatha lantas kembali mendorong stroller belanja. Terlalu lama menatap Arumi hanya akan membuatnya semakin menggila.
"Kamu pernah, tau, turunin saya di tengah jalan karena saya buat kesalahan kecil. Waktu itu ponsel saya tertinggal di mobil kamu, dompet dan tas pun tertinggal. Saya harus jalan kaki cukup lama sampai ketemu bapak ojek pangkalan, syukurlah beliau mau antar saya ke rumah. Setelah sampai di rumah ternyata kamu belum pulang, saya sampai pinjam uang sama Mbok Nimas buat bayar ojek."
Adinatha sampai terbatuk mendengar betapa kejam dirinya kepada Arumi. Pria itu menarik Arumi mendekat, menahan wanitanya agar berhenti mengungkit kejadian pahit karena ada pelanggan lain yang bisa ikut mendengar.
Tatapan mereka beradu, saling memandangi dalam diam. Mereka terbiasa dengan suasana kaku, sehingga lidah pun tergugu tidak terbiasa untuk mengutarakan keseluruhan dari apa yang dipikirkan.
"Sejujurnya saya malu sekali karena kamu bicara hal begitu di tempat umum. Kalau mau cerita yang begitu ... nanti saja kalau sudah di rumah." Ucapnya lantas mengambil alih secarik kertas yang berisi daftar belanjaan apa saja yang harus dibeli dari tangan Arumi.
"Kalau di rumah saya nggak punya kesempatan buat bilang begitu, saya keburu lupa karena takut kamu marah-marahin saya." Ucap Arumi begitu lirih, berjalan melewati Adinatha menuju lorong tempat sayur dan buah.
YOU ARE READING
ASTUNGKARA (selesai)
RomanceASTUNGKARA -sebuah harapan melalui ikatan pernikahan- . . Sebuah pernikahan dianggap dapat memutus sebuah tali kebencian. Sebuah pernikahan dianggap dapat menjadi jembatan baru untuk mengulang kembali hubungan erat dua keluarga yang sempat terputus...
