Hujan gerimis turun sejak sore, membasahi jalan-jalan yang sudah sepi. Langit terlihat abu-abu keperakan, seperti menyembunyikan rintihan luka di balik awan yang enggan reda. Rumah nenek Nayara di pinggir kota itu sunyi seperti biasanya, tapi ada satu suara yang menenangkan: detak jarum jam dan suara hujan yang mengalun lembut di atap seng.
Nayara menyelipkan tangannya ke dalam lengan sweater yang terlalu besar, duduk meringkuk di kursi rotan balkon lantai dua. Di pangkuannya, segelas teh melati masih mengepul. Namun bukan uap teh yang menghangatkan dadanya sore itu — melainkan pesan singkat yang baru saja ia baca:
> "Nayara, aku di depan rumah. Boleh ketemu sebentar?" – Alvan
Jantung Nayara berdegup aneh. Bukan karena terkejut, tapi karena entah kenapa, nama itu selalu berhasil menciptakan rasa... yang belum bisa ia definisikan.
Ia berjalan pelan ke bawah, membuka pintu depan rumah. Dan di sana berdiri Alvan, dengan hoodie hitam yang basah di ujung lengan, tangan kiri memegang payung biru, dan tangan kanan menggenggam sekotak kecil berisi kue bolu pandan. Wajahnya pucat sedikit, tapi matanya—tenang, penuh kehangatan.
“Aku enggak tahu kamu suka bolu pandan atau enggak... tapi nenekku selalu bilang, manis itu obat luka yang enggak bisa dijahit,” katanya, menyodorkan kotak itu dengan senyum yang tulus.
Nayara nyaris tertawa. Tapi yang keluar hanya helaan napas kecil. Ia menerima kotak itu, dan untuk pertama kalinya dalam seminggu, bibirnya melengkung sedikit. “Makasih... masuk yuk, kamu basah gitu.”
Mereka duduk di ruang tamu kecil yang hangat. Di meja, Nayara menuangkan teh untuk Alvan dan membuka kotak kue itu. Aroma pandan langsung menyebar, manis dan lembut.
“Kamu datang cuma buat ngasih ini?” tanya Nayara sambil menyuap potongan kecil.
Alvan mengangguk. “Nggak juga. Aku... cuma pengin lihat kamu baik-baik aja.”
Nayara terdiam. Lama.
“Aku nggak sepenuhnya baik, Van. Aku masih suka nangis tengah malam, masih mimpi buruk, masih takut kalau suatu hari aku... patah lagi.”
Alvan menatapnya. “Nggak apa-apa. Kamu nggak harus baik setiap hari. Yang penting, kamu nggak jalan sendirian.”
Lagi-lagi, Nayara terdiam. Tapi kini ada sesuatu yang mengalir di balik sunyinya. Sesuatu yang hangat, lembut... dan pelan-pelan melelehkan es yang selama ini membeku di hatinya.
“Aku ngerasa bersalah kalau ketawa, Van,” bisiknya. “Karena rasanya kayak ngelupain semua luka yang pernah ada.”
Alvan mendekat, tapi tidak terlalu dekat. Cukup untuk membuat Nayara merasa aman. “Tapi justru tertawa itu bukti kalau kamu sedang berusaha sembuh. Kita nggak melupakan luka, Nay. Kita cuma... berdamai dengannya.”
Hening sejenak.
“Kalau langitmu mendung, biar aku jadi pelanginya,” katanya lagi. Kali ini lebih pelan.
Nayara menoleh cepat. “Tapi pelangi cuma sebentar.”
Alvan tersenyum kecil. “Kalau begitu, aku nggak mau jadi pelangi. Aku mau jadi langitnya. Yang selalu ada, meski kadang mendung, kadang cerah, kadang hujan deras. Tapi selalu ada.”
Dan saat itu, Nayara merasa ada sesuatu dalam dirinya yang bergeser. Bukan hilang, tapi berubah. Bekas luka yang tadinya begitu perih, kini mulai terasa... ringan.
“Kamu tahu nggak,” katanya sambil menatap jendela. “Aku dulu suka banget langit. Tapi sejak hari itu, aku ngerasa langit kayak musuh.”
“Karena langitnya mendung pas kejadian itu?”
Nayara mengangguk pelan. “Karena langitnya diam. Seolah ikut menghakimi.”
Alvan menggeleng. “Langit nggak pernah menghakimi, Nay. Dia cuma jadi saksi. Dan mungkin... mungkin dia juga ikut menangis.”
Nayara menatap mata Alvan, lama. “Kenapa kamu bisa ngomong kayak gitu? Kayak kamu ngerti semua rasa yang aku rasain.”
Alvan menghela napas. “Karena aku pernah ngerasain juga. Kehilangan. Perasaan bersalah. Malam-malam gelap yang kayak enggak ada ujungnya.”
Nayara sedikit kaget. “Kamu pernah...?”
“Iya. Aku kehilangan adikku tiga tahun lalu. Kecelakaan. Dan aku... aku enggak bisa maafin diriku sendiri waktu itu.”
Lama mereka diam. Tapi bukan diam yang canggung. Itu diam yang terasa seperti pelukan tak terlihat — menenangkan, menyelimuti, menyembuhkan.
“Maaf ya, aku enggak tahu,” bisik Nayara.
“Enggak apa-apa. Aku enggak cerita ke siapa-siapa sebelumnya. Tapi kamu... kamu bikin aku pengin cerita.”
Hati Nayara mencelos. Tapi juga penuh.
Dan tiba-tiba, Nayara berdiri. Ia berjalan ke dekat jendela, menatap gerimis yang belum reda.
“Kalau suatu hari nanti aku ketawa lagi tanpa rasa bersalah... mungkin itu karena kamu,” katanya pelan.
Alvan berjalan mendekat, berdiri di sampingnya. “Kalau aku bisa bikin kamu ketawa... itu udah lebih dari cukup buat aku.”
Gerimis terus turun, menari di balik kaca jendela. Tapi hati Nayara... terasa sedikit lebih cerah. Karena mungkin, langit tak lagi menghakimi. Karena mungkin, di balik luka dan kehilangan, ada seseorang yang hadir... bukan untuk memperbaiki, tapi untuk Menemani
YOU ARE READING
LANGIT YANG TAK SAMA LAGI (END)
Teen FictionNayara tak pernah menyangka hidupnya akan berubah secepat itu. Setelah kehilangan sosok paling ia cintai, ia dipaksa pindah ke kota baru yang terasa asing dan dingin. Jakarta bukan rumah, dan sekolah barunya terasa seperti labirin penuh wajah tak di...
