Sepulangnya dari rumah orang tuanya, kini mereka berdua duduk bersisian di bangku taman belakang rumah. Angin sore berhembus pelan, sedangkan langit terlihat begitu indah di atas sana. Aliska merebahkan kepalanya pada bahu Sean, sementara tangan mereka saling beratutan—menyalurkan kehangatan yang menelisik masuk pada dada.

Keduanya tak banyak bicara, hanya berdiam diri menikmati sepoi-sepoi angin sore dan senja, serta bunga-bunga yang kini kembali bermekaran di taman itu. Rasanya seperti kembali jatuh cinta, tetapi pada orang yang sama.

Aliska tahu bahwa mungkin, di depan sana, akan ada beberapa masalah yang akan hadir di dalam hubungan mereka. Namun, dia akan mencoba untuk merubah dirinya dan bersikap lebih tenang dalam menghadapi semua masalah. Dia tak ingin ego dan emosi malah membuatnya kembali menderita, serta menjauh dari sosok Sean.

Begitu pula dengan Sean. Tanpa mengatakannya pada Aliska, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak fokus pada rasa sakitnya sendiri. Dia akan menjaga perasaan Aliska sebaik mungkin, dia akan menemani perempuan ini, dan menyelesaikan permasalahan bersama-sama. Ego dan emosi tak boleh menguasai dirinya lagi. Pokoknya harus melakukan yang terbaik.

"Oh iya, kamu udah tahu siapa ayah dari anak itu?" tanya Aliska saat teringat akan sosok Farah.

Sean mengedikkan bahu, "Terlalu banyak yang berhubungan sama Farah, buat ngelakuin tes DNA juga terlalu berisiko saat bayi itu masih dalam kandungan. Mungkin, kalau masalahnya memang masih belum selesai, aku bakal ngelakuin tes DNA setelah anak itu lahir."

Perempuan itu mengangguk-angguk mengerti. Dia kembali merebahkan kepalanya pada bahu sang suami. Kedua matanya masih menatap lekat ke arah langit yang perlahan berubah warna menjadi hitam. Suasana hening ini benar-benar menenangkan hati.

Sean memang meminta Anggara untuk mencari tahu soal siapa saja yang dekat dengan Farah, tetapi informasi yang didapatkan terlalu banyak dan membingungkan. Belum lagi orang-orang yang berhubungan dengan perempuan itu adalah orang-orang yang cukup berpengaruh. Akan merugikan bagi Sean kalau sampai dia mengganggu orang-orang itu.

Sean melirik ke arah Aliska dan tertegun. Perempuan ini benar-benar cantik dan juga indah. Kedua matanya, hidungnya yang kecil, bibirnya yang merah muda, dan rambutnya yang wangi. Bagaimana bisa Sean sempat berpikir untuk menyakiti perempuan seindah ini? Dia menggerutu di dalam hati, sebelum akhirnya mendaratkan sebuah kecupan ke atas pucuk kepalanya.

"Tapi, apa kamu keberatan kalau aku tanggung biaya untuk hidup bayi itu, Sayang?" Aliska menegakkan punggungnya, dia menatap Sean dalam diam—tetapi tak ada sorot marah atau cemburu di sana. "Farah ngundurin diri, aku juga ngerasa bersalah sama dia karna aku juga ambil peran dalam kesalahpahaman yang udah terjadi."

Setelah Sean menjelaskan pada Farah bahwa dia tak akan bertanggung jawab atas kehamilan wanita itu dan sudah mengantongi informasi laki-laki yang pernah berhubungan dengannya, besoknya Sean mendapat kabar bahwa dia mengundurkan diri. Sean sedikit merasa bersalah setelahnya, oleh karena itu dia meminta izin pada Aliska untuk menanggung biaya bayi itu sekalipun dia bukanlah ayah dari bayi itu.

Tak ada jawaban. Sean sedikit khawatir. Dia sudah siap merangkai kalimat agar perempuan ini tak salah paham, tetapi Aliska tiba-tiba saja menangkup pipinya dan mendaratkan sebuah kecupan. Sean terkejut. Dia mengerjap pelan.

"Boleh, kok. Aku nggak masalah," jawabnya, dia tersenyum lebar tanpa merasa bersalah pada Sean yang terlihat setengah khawatir itu. "Bayi itu juga nggak bersalah," lanjutnya.

Sean terkekeh, dia menghembuskan napas merasa lega. Satu kecupan kembali mendarat, "Makasih, ya!"

Aliska terkekeh, kali ini dia yang mendaratkan sebuah kecupan. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. "Makasih kembali, Sayang."

Kali ini Sean yang terkekeh, sebab merasa geli dengan tindakan sang istri. Perasaan hangat itu terus mengisi relung hatinya. Sean tak pernah merasa sebahagia hari ini. Dia merasa seperti terlahir kembali. Semua masalah yang ada di belakang sana mulai terlupakan dan terganti dengan sebuah kebahagiaan yang tak terhingga ini.

Rumah besar yang beberapa tahun terakhir terasa dingin dan sepi itu, kini kembali hangat sebab ada tawa dari Aliska yang mengisi keheningan. Bersama semua harapan tentang masa depannya yang diisi oleh kebahagiaan, Sean terus merapalkan doa agar Aliska selalu di sisinya dan menemaninya.

"Aliska," lelaki itu memanggil sang empunya nama, sorot matanya terlihat hangat dan juga lembut. "Janji untuk ngelakuin semua dengan baik, ya? Janji untuk lebih terbuka dan selesaiin semua masalah bareng-bareng," lanjutnya, "Janji untuk mati setelah aku, ya?"

"Janji!" Aliska mengangkat jari kelingkingnya, "Kamu nggak boleh nyakitin aku lagi, ya? Apalagi bikin aku marah, soalnya marah-marah bikin cepat tua."

"Nggak apa-apa, kamu bisa pakai duit aku buat perawatan. Soalnya duit aku terlalu banyak dan nggak ada yang habisin," balas Sean.

Aliska terkekeh, "Okey, kalau kamu maksa!"

Sean kemudian berdiri, dia menarik tubuh Aliska perlahan dan merentangkan tangannya. Perempuan itu tersenyum, pun menghamburkan diri pada pelukan itu. Rasanya begitu hangat dan mendebarkan, dinginnya malam tak mampu menembus keduanya yang tengah berpelukan.

"Kamu harus tahu kalau jantung ini cuma berdetak kencang pas ada kamu doang, kalau sama yang lain biasa aja. Jadi, kamu harus tanggungjawab kalau tiba-tiba aku jatuh pingsan, Aliska!"

Sang empunya nama meregangkan pelukan dan sedikit mendongak menatap Sean yang nampak serius dengan kalimatnya yang terdengar kekanak-kanakkan dan aneh. Alis perempuan itu saling bertautan, bibirnya mengerucut.

"Sumpah, deh. Kamu belajar darimana gombalan murahan gitu?" tanyanya memprotes tindakan suaminya yang mendadak berubah jadi seperti bapak-bapak yang baru kenal sosial media.

Sean kembali terkekeh, "Anggara," jawabnya, "Dia udah punya pacar, tahu. Aku nggak tahu siapa, tapi tiap hari dia suka telponan gitu sambil ngegombal. Dia...."

Ucapan lelaki itu terhenti tatkala Aliska membungkamnya dengan sebuah ciuman yang cukup panas dan menggairahkan. Sean tersenyum disela-sela ciuman mereka, sebelum akhirnya membalas ciuman itu. Tangannya mulai merambat ke balik pakaian yang Aliska gunakan, dengan lidah yang juga ikut andil dalam ciuman panas mereka.

Keduanya kembali terjebak dalam sebuah nafsu yang tak henti-hentinya menghadirkan zat dopamin yang membuat jantung berdetak tak karuan. Jutaan kupu-kupu kembali menggelitik perut, dengan kedua mata yang saling terpejam menikmati bagaimana panasnya kegiatan mereka.

Tanpa melepaskan ciuman mereka, Sean mengangkat tubuh Aliska dan melangkah ke arah ruang keluarga. Keduanya kembali meraup kebahagiaan sembari melucuti satu per satu kain yang membalut tubuh. Lagi, semua benda yang ada di sana menjadi saksi atas hubungan mereka yang semakin membaik.

Malam ini, mereka kembali berlomba siapa yang mencapai puncak bahagia lebih dulu. Membiarkan burung-burung yang berdengger di ranting-ranting pohon mengintip kegiatan mereka, membiarkan sofa menjadi basah karena keringat mereka, dan membiarkan jarum jam mendengar desah yang keluar dari mulut mereka.

"I love you, Sean."

Tanpa Sean sadari, air mata perlahan menitik membasahi pipinya. Kegiatan mereka terhenti. Kedua mata lelaki itu menatap lembut ke arah istrinya yang berada di atas tubuhnya. Kalimat itu adalah kalimat pengakuan yang pertama kali dia dengar setelah sekian lama. Rasanya seperti mimpi.

Sean mengusap bibir sang istri dengan lembut, kemudian mengecupnya.

"I love you too, Aliska."[]

How Do We End Us?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora