Sean menarik napasnya cukup dalam, "Mama, Sean akui kalau Sean emang sempat tertarik sama Farah. Tapi demi apapun, hubungan Sean sama Farah nggak berlanjut dan nggak berlangsung lama. Kami juga sesekali ketemu secara nggak sengaja, tentu aja Sean nggak tahu itu disengaja atau nggak sama si Farah."

Aliska mendongak menatap sang mama mertua. Dari apa yang dia lihat, perempuan paruh baya itu memang sudah siap melontarkan semua makian. Maka dengan semua perasaan takut dan khawatir itu, Aliska kembali menggenggam erat tangan Sean.

"Of course, anak yang Farah kandung bukanlah anak Sean. Sean nggak pernah tidur sama dia, buat pegangan tangan secara intim aja nggak pernah. Sean akui, she's kinda good with her job. She's a good assistant, but more than that she's nothing. So, I'm so sorry 'cause I can't admit that it's mine. Maaf nggak bisa nurutin kehendak Mama sekali lagi," Sean melanjutkan, intonasi suaranya masih terdengar stabil dan nada suaranya terdengar lembut melantun mengisi keheningan.

"Mama, I know you just worry about my life. Tapi, Ma, Sean udah besar. Sean udah bisa nentuin yang baik dan buruk atas hidup Sean, Sean udah ngerti apa yang harus Sean lakuin biar bisa bahagia."

Sorot mata yang tadi terlihat penuh amarah, perlahan meredah. Sean menatap hangat sang mama, senyumnya merekah—seolah-olah tengah mengangkat bendera perdamaian, alih-alih sebuah bendera perang seperti biasanya.

Tuan Wicaksono menoleh ke arah sang istri, dia kemudian menggenggam tangan perempuan itu. Sorot matanya menyiratkan sebuah permohonan agar sang istri menerima semua keputusan dan permintaan Sean. Keduanya terlihat bahagia bersama dan tak seharusnya mereka sebagai orangtua malah hadir sebagai pemisah atas hubungan itu.

Lelaki itu menoleh ke arah Aliska yang masih terdiam, "Sean nggak pernah jadi anak pembangkang sebelumnya, karena Sean merasa bahwa apa yang Mama atur adalah yang baik untuk Sean. Tapi untuk kali ini, Sean merasa kalau apa yang Mama mau adalah sebuah kesalahan karena Sean emang nggak punya tanggungjawab atas semua yang udah terjadi sekarang."

Nyonya Wicaksono masih terdiam mendengarkan semua kalimat yang anaknya katakan. Satu per satu pikiran buruknya mulai menghilang. Dia mulai menyadari bahwa Sean memang tak seharusnya dipaksa dan dibebani oleh sebuah tanggungjawab yang memang tidak dia lakukan.

Tuan Wicaksono paham bahwa istrinya meminta Sean untuk mengakui bayi itu, sebagai bentuk dari rasa khawatirnya melihat rumah tangga anaknya yang semakin memburuk dari hari ke hari. Ditambah dengan tuntutan dari orang-orang sekitar yang mempertanyakan perihal cucu mereka.

"Mama, I know you couldn't like Aliska, but she's perfect for me. We perfect to each other, I'm happy with her and she's either." Sean terdiam sejenak, dia menelan ludah susah payah sebelum akhirnya melanjutkan. "Ma, I love you, I love my wife too. Cinta aku ke kalian itu berbeda, semuanya punya porsi yang sama, tapi berbeda. Tolong mengerti ya, Ma. Untuk kali ini, tolong mengerti Sean."

Sean kemudian terdiam. Hening cukup lama, sebelum akhirnya Nyonya Sean beranjak tanpa mengatakan apa-apa. Aliska tersentak kaget, begitu pula dengan Tuan Wicaksono dan Sean. Ketiga orang itu saling tatap beberapa detik, kemudian sebuah senyum merekah tatkala Nyonya Wicaksono berkata tanpa menoleh ke arah mereka.

"Maaf, karena Mama kalian harus menghadapi masalah yang cukup banyak. Untuk sekarang, Mama hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian."

Sean paham bahwa mamanya begitu menyayangi dirinya, tetapi memang terkadang cara perempuan itu mengungkapkan rasa sayang sedikit berbeda dan sulit untuk dia mengerti. Namun hari ini, Sean kembali merasakan kasih sayang itu lagi.

Pada akhirnya, semua masalah yang ada satu per satu mulai mereka selesaikan.

📁

How Do We End Us?Where stories live. Discover now