Ketika karier Galen mencapai puncaknya, hidup Cleo justru perlahan runtuh.
Dijebak, dikhianati, dan dicintai dengan cara yang terlalu berbahaya. Cleo tahu ia harus pergi. Tapi tak ada tempat yang benar-benar aman dari Galenio Skyler.
Karena baginya...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Nama "Robby Santoso" terpampang jelas di kartu nama yang Cleo genggam. Ia menatap benda tersebut bagai menimbang takdir. Nama itu membawa harapan, tapi juga dilema.
Di satu sisi, Cleo ingin menghubunginya. Melangkah lebih jauh demi meniti jalan impiannya. Tapi di sisi lain, ia tahu persis seperti apa reaksi Galen jika tahu. Suaminya itu overprotektif. Apalagi sejak kejadian kabur kemarin ... Cleo yakin Galen tak akan mengizinkannya berhubungan dengan pria lain lagi.
Detik berikutnya, pintu terbuka. Dan Cleo buru-buru menyelipkan kartu nama itu ke bawah tumpukan majalah di nakas.
Galen masuk sembari membuka kancing kemejanya. Otot-otot punggungnya tampak menegang ia mengganti baju dengan kaus hitam.
"Sayang?" panggilnya ringan sambil menatap Cleo yang termenung di pinggir ranjang. "Kamu kok belum tidur? What's wrong?"
Cleo menggeleng cepat. "Nggak ada apa-apa sih. Tadi abis boboin baby bentar terus nggak ngantuk lagi."
Menghela napas, Galen naik ke atas ranjang. Lalu merangkak pelan ke samping Cleo. "Kamu mau apa? Ada yang bisa aku lakuin buat kamu?"
Cleo menggeleng, seraya memiringkan tubuhnya menghadap Galen. "Nggak ada. Aku cuma ... maunya ada di dekat kamu terus. Itu aja deh!"
Senyum Galen mengembang. "Aku juga begitu."
"Eumm. Maksud aku, pengennya setiap saat. Aku iri deh sama orang yang kerja di kantor kamu. Yang bisa liat kamu tiap hari—"
Galen mengernyit, tak begitu jelas menangkap ucapannya. "Gimana?"
Tapi Cleo hanya menyembunyikan wajahnya di dada Galen sambil terkikik kecil. "Nggak apa-apa. Kamu ganteng."
"Heum? Kamu mabuk ya?" Galen terkekeh seraya mendekap erat Cleo, mengingat istrinya itu sempat minum wine tadi. "Tapi nggak apa-apa. Kamu gemes banget kalau mabuk."
***
Asap tipis yang mengepul dari panggangan, menyatu dengan aroma mentega lelehan gula karamel yang meleleh di permukaan crêpe. Cleo berdiri di balik stan sederhana milik Dolce Notte di festival kecil-kecilan ini, mengenakan apron cokelat muda dan ikat rambut, tangannya cekatan namun gurat di wajah cantik terlihat sedikit murung.
Sudah seminggu sejak gala dinner itu. Tapi kartu nama Pak Robby masih tersimpan di laci meja samping tempat tidurnya dan tak tersentuh. Entahlah, ia masih ragu.
"Lo belum ngubungin dia, kan?" Suara Eizen tiba-tiba terdengar di sampingnya, membawa dua gelas kopi dan pandangan tahu segalanya.
Cleo pura-pura fokus membalik adonan. "Siapa?"
"Yailaah, siapa katanya. Ya Pak Robby lah. Doi kan udah ngasih lo kesempatan gede banget waktu itu." Eizen menyerahkan segelas kopi padanya, lalu bersandar di tiang stan.