Sinar matahari menembus celah tirai jendela, menyinari kamar yang masih dalam keadaan setengah gelap. Alarm di ponsel Adiraka berbunyi nyaring, memaksanya untuk membuka mata. Tangannya meraba-raba meja di samping tempat tidur, menekan tombol snooze tanpa melihat layar.
Tiga detik. Empat detik. Lima detik.
Detik-detik pertama saat ia terbangun terasa… aneh. Seperti ada sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, tapi pikirannya masih terlalu malas untuk memprosesnya.
Adiraka duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya yang masih mengantuk. Tangannya menyisir rambut berantakan, mencoba mengumpulkan kesadaran yang masih tercecer entah di mana.
Ada sesuatu yang terasa… familiar.
Bukan sekadar kebiasaan bangun pagi yang sama setiap hari. Tapi lebih dari itu.
Perasaan ini… déjà vu?
Ia mengernyit, mencoba mengabaikan rasa aneh yang muncul di dadanya. Lagipula, siapa peduli? Mungkin hanya efek begadang semalam.
Ponselnya bergetar di meja. Satu notifikasi muncul.
[07:02] Zaylena: "Jangan telat. Hari ini pasti absurd."]
Adiraka menatap pesan itu. Matanya menyipit sedikit.
Pasti absurd? Maksudnya apa?
Namun, lagi-lagi, dia mengabaikannya. Ia beranjak ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin. Bayangannya di cermin terlihat biasa saja—rambut sedikit acak-acakan, tatapan malas, dan kantung mata samar hasil dari tugas yang belum ia selesaikan.
Hari ini adalah hari Senin.
Hari di mana dosen paling killer, Pak Ridwan, mengajar di jam pertama.
Hari di mana kantin pasti penuh sesak karena semua orang butuh kopi untuk bertahan hidup.
Hari di mana dia selalu lupa bawa flashdisk untuk tugas kelompok.
Ya… semuanya terasa biasa.
Tapi…
Ketika ia keluar dari kamar dan berjalan ke dapur, ibunya sudah di sana, seperti biasa, menyeduh kopi sambil menonton berita di TV.
"Udah bangun? Sarapan dulu, ada roti sama telur di meja," kata ibunya, tidak menoleh dari layar TV.
Adiraka mengangguk kecil. Ia duduk dan meraih sepotong roti, mengunyahnya tanpa terlalu memikirkan rasanya. Namun, saat ia mendengar suara penyiar berita dari TV, ia mendadak merasa aneh.
"Hari ini, tanggal 17 April, cuaca cerah di sebagian besar wilayah..."
Tunggu.
Tanggal 17 April?
Bukan seharusnya hari ini tanggal 18?
Adiraka menoleh cepat ke kalender yang tergantung di dinding dapur. Dan benar saja—hari ini memang 17 April. Sama seperti kemarin.
Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Ia segera meraih ponselnya dan membuka aplikasi kalender.
17 April.
Ia menekan aplikasi pesan dan membuka chat-nya dengan Zaylena.
Pesan terakhir?
[07:02] Zaylena: "Jangan telat. Hari ini pasti absurd."]
Sama persis seperti yang ia baca tadi.
Tangannya tiba-tiba terasa dingin. Ia bahkan bisa mengingat jelas isi chat ini karena Zaylena jarang mengirim pesan sepagi ini. Tapi bagaimana bisa…?
Ia menggelengkan kepala. Tenang, Raka. Jangan halu dulu.
Mungkin ini hanya kebetulan. Atau efek kurang tidur.
Tapi saat ia keluar rumah dan berjalan ke halte bus, perasaan déjà vu semakin kuat.
Motor dengan knalpot bising melintas di jalan—sama seperti kemarin.
Anak kecil yang menjatuhkan es krimnya lalu menangis—sama seperti kemarin.
Gadis berseragam SMA yang buru-buru menyebrang jalan hampir tertabrak sepeda—sama seperti kemarin.
Semua yang terjadi di sekitarnya terasa seperti… ulangan.
Seolah dunia ini adalah rekaman yang diputar ulang tanpa ada yang menyadarinya.
Kecuali dia.
Dan mungkin…
Zaylena.
Tiba-tiba, kata-kata yang muncul di kepalanya membuat tengkuknya meremang.
"Apa jadinya kalau hidup ini bukan garis lurus, tapi lingkaran?"
VOUS LISEZ
CTRL+LOOP (TAMAT)
Roman pour AdolescentsHidup Adiraka selalu berjalan biasa-sampai dia menyadari bahwa hari ini selalu terulang. Gak peduli apa yang dia lakukan, setiap malam semuanya kembali ke awal. Dunia terasa seperti rekaman yang diputar ulang tanpa henti. Satu-satunya orang yang sad...
