Prolog: "Mati Rasa"

12 7 1
                                        


Hujan turun dengan tenang, membasahi tanah yang masih merah di bawahnya. Langit kelabu seperti turut meratap, menyelimuti dunia dalam kesunyian yang menusuk. Di antara suara tetesan air yang jatuh ke bumi, hanya ada keheningan.

Ashya berdiri di sana, membiarkan tubuhnya diguyur hujan tanpa sedikit pun bergerak. Tangannya mengepal di sisi tubuh, kukunya menekan kulit telapak tangannya sendiri, tapi ia tidak merasakan sakit. Ia hanya menatap batu nisan di depannya—nama yang terukir di sana terasa seperti belati yang menusuk jantungnya berulang kali.

Haga Reinaldy Gamanu
"200X - 202X"

Ia membaca nama itu dalam diam, mengulanginya dalam hati seolah masih berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir begitu ia membuka mata. Tapi tidak. Batu nisan itu nyata. Kehilangan ini nyata.

Di sekitar pemakaman, beberapa orang masih berdiri, berbicara dengan suara lirih. Beberapa dari mereka mencoba menatapnya dengan iba, mungkin berpikir bahwa dia butuh pelukan atau kata-kata penghiburan. Tapi Ashya tidak butuh itu.

"Kalian tidak mengerti."

Mereka tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang pernah menjadi bagian dari dirinya.

Seorang wanita paruh baya—ibu Haga—mengusap matanya yang sembab sebelum menepuk bahu Ashya pelan. "Ashya… ayo kita pulang. Haga pasti nggak mau lihat kamu begini."

Ashya hanya diam. Pulang? Ke mana? Rumah sudah bukan lagi rumah sejak Haga pergi. Tidak ada tempat yang benar-benar terasa seperti rumah lagi.

Ibu Haga menghela napas panjang sebelum akhirnya meninggalkannya sendiri. Orang-orang mulai pergi satu per satu, meninggalkan Ashya dalam kesunyian bersama hujan dan nisan di depannya.

Ia berjongkok, jemarinya menyentuh permukaan batu dingin itu. Jantungnya berdegup pelan, begitu lemah hingga ia bertanya-tanya apakah jantungnya benar-benar masih berdetak atau hanya bertahan karena terpaksa.

"Kau pergi terlalu cepat, Haga…"

Suaranya hampir tidak terdengar di antara suara hujan. Tidak ada air mata. Tidak ada isakan. Hanya kata-kata yang keluar dengan hambar, seperti dirinya yang sekarang.

Orang-orang selalu berkata bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi bagi Ashya, waktu justru membunuhnya perlahan.

Hari demi hari berlalu, dan ia mulai lupa bagaimana rasanya bahagia. Lupa bagaimana rasanya tertawa tanpa beban. Lupa bagaimana rasanya hidup.

Dan kini, ia bertanya-tanya… apakah ia benar-benar masih hidup, atau hanya sekadar eksistensi kosong yang menunggu waktu untuk benar-benar menghilang?

Mati RasaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora