"Kalo mengikhlaskan adalah bukti cinta, maka bukti kerinduanku adalah mahalul qiyam." ~ Mufrih Al-Zarqali
"Jika aku nggak bisa sekuat hujan yang menjadi penghubung antara langit dan bumi, maka aku ingin menjadi doa yang menyatukan harapan dan impia...
Ditemani teriknya matahari siang hari ini, Mufrih sampai di sebuah showroom yang berlokasi cukup jauh dari kampusnya. Kedatangannya disambut seorang tukang parkir dengan berbagai pertanyaan. Pria yang usianya cukup jauh dari Mufrih itu tak segan untuk memulai perbincangan, entah karena terlalu ramah, atau daya tarik dari showroom ini. Mufrih sendiri tak tahu, yang jelas hal itu cukup membuatnya nyaman.
Saat Mufrih membuka pintu dan mengucap salam, ia disambut oleh seorang wanita berhijab. Ia memperkenalkan diri dengan nama Dina. Ya, wanita yang menghubungi dan mengiriminya lokasi tadi. Mufrih gegas diajak ke kendaraan yang ia tanyakan kemarin. Sebuah kendaraan jaman dulu yang dikeluarkan honda, mungkin sekarang umurnya sudah kepala 4, atau bahkan lebih.
Mufrih dituntun menuju ke area yang sedikit menjorok ke dalam, dan mendapati motor Honda C70 tahun 1989 dengan perpaduan warna hijau putih. Benar ini yang dicari oleh temannya, sebuah motor klasik yang masih bisa digunakan untuk sehari-hari.
"Berapa harganya, Mbak?" tanya Mufrih.
"Dua belas juta, A," jawab Dina. Perempuan itu mengubah panggilannya setelah bertemu dengan Mufrih, tak mungkin pemuda itu dipanggil bapak.
"Nggak bisa kurang? Saya buat dijual lagi ini." Mufrih mulai bernego tentang harga.
"Duh, saya nggak berani nurunin harga. Kata bapak segitu." Dina jadi bingung.
"Ayolah, Mbak, biar jadi langganan. Saya sering transaksi motor, siapa tau nanti kalo harganya yang ini pas saya bakal jadi langganan disini. Mau jual, atau beli," bujuk Mufrih.
"Duh, beneran, A. Saya cuma kerja, nanti atuh ya, Aa nya biar ngobrol sama bapak yang punya aja biar enak."
Mufrih pun mengangguk, setelahnya Dina pamit pergi dari sana. Cukup lama Dina memanggil sang pemilik showroom, al hasil Mufrih pun mulai melihat-lihat C70 yang tampak masih sangat terawat itu. Sampai akhirnya sebuah suara masuk ke telinga Mufrih.
"Si Pitung emang lagi banyak dicari akhir-akhir ini. Meski mesinnya cuma 72cc tapi nggak kalah sama yang 160cc."
Mufrih menoleh, ia dapati seorang pria paruh baya yang masih sangat karismatik. "Betul, Pak. Daya tariknya juga di body yang 80% terbuat dari besi, beda sama yang sekarang kebanyakan plastik."
Mendengar penuturan Mufrih, membuat pria paruh baya itu tersenyum. Dan siapa sangka mata pria paruh baya itu ikut tersenyum serta hilang.
"Saya kira anak muda kayak kamu cuma ngerti motor-motor jaman sekarang. Kayak ninja, R15, CB100," ujarnya.
Mufrih tersenyum tipis. "Saya harus hapal betul semua jenis motor, Pak. Maklum tukang jual motor. Dari yang paling jadul, sampe yang paling muda harus tau. Biar pembeli yakin."
Pria berkemeja hitam itu mengangguk-ngangguk. "Saya suka anak muda yang meningkatkan kualitas sendiri, dibanding menghalalkan segala cara untuk meyakinkan pembeli. Bahkan sampai menipu pembeli. Ah, perkenalkan nama saya Alzam, saya pemilik showroom ini."
"Saya Mufrih, Pak." Mufrih memperkenalkan diri dan menjabat tangan Alzam saat pria paruh baya itu mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri.
"Kata pegawai saya tadi, C70 ini mau kamu jual lagi?" tanya Alzam.
Ia mengangguk. "Iya, Pak. Jadi apa bisa dikurangin lagi harganya?"
"Kita bicara di ruangan saya saja, mari," ajak Alzam.
Keduanya pun berjalan bersisian ke ruangan pria paruh baya itu. Hampir setengah jam Mufrih berada di ruangan Alzam, bukan hanya membahas tentang harga motor C70. Keduanya pun akhirnya melakukan kerja sama, tentang jual beli motor. Tentunya dapat menghasilkan keuntungan untuk kedua belah pihak.
"Tapi, om. Saya besok nggak bisa kesini, apa bisa temen saya yang ambil motornya?" Mufrih sudah mengubah panggilan dan berbicara lebih santai dengan Alzam saat keduanya keluar dari ruangan Alzam.
"Gampang itu, bilang aja kapan temen kamu mau ambil motornya, saya siapkan. Yang terpenting harga sudah deal," jawab Alzam.
"Oke, kalo gitu. Makasih, Om. Senang bisa kerjasama dengan Om. Semoga kerjasama kita bisa terus terjalin." Mufrih mengulurkan tangan dan disambut oleh Alzam.
Hal itu keduanya lakukan sebagai ijab qabul untuk pembelian motor, dan sebagai awal kerjasama keduanya. Tentu Alzam amini ucapan Mufrih itu.
"Ayah."
Disaat yang bersamaan, panggilan itu mengalihkan atensi kedua laki-laki yang tengah berjabat tangan dan sama-sama menatap suara lembut yang baru saja terdengar.
Dua pasangan mata itu melebar, seperti sama-sama terkejut. Namun, tak ada sapa serta tanya. Keduanya mengunci mulut masing-masing dan memilih berperang dengan pikirannya sendiri.
"Assalamualaikum, Teh. Kebiasaan dateng-dateng nggak ngucap salam. Jangan suka ngikutin si bule bonsai itu, kita itu orang timur. Kita punya aturan, kita punya agama." Alzam mengomel, tetapi Fakhitah seperti tak mendengar semua omelan itu.
"Teh! Teteh!" Alzam memekik karena merasa diabaikan oleh sang putri.
Fakhitah jelas kaget mendengar pekikan sang ayah, bahkan Mufrih pun ikut tersadar.
"Ah, iya, Yah. Assalamualaikum, Ayah."
"Waalaikumsalam, kamu kenapa bengong?" Alzam yang menatap heran gelagat sang putri.
Fakhitah buru-buru mengulurkan tangan dan meraih tangan sang ayah, padahal Alzam belum mengulurkan tangannya. Gadis itu mengecup punggung tangan sang ayah dan buru-buru pergi dari sana.
"Lah, kamu kenapa, Teh? Abis ada yang gangguin lagi? Sini ngomong sama ayah," teriak Alzam sembari menatap kepergian sang putri.
Mufrih pun ikut menatap punggung Fakhitah yang secepat kilat sudah menghilang dibalik tembok. Semua pertanyaan dalam benaknya sudah terjawab, sedangkan pertanyaan Fakhitah tentang sedang apa Mufrih di showroom sang ayah belum mendapat jawaban.
🍂🍂🍂
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.