"Kalo mengikhlaskan adalah bukti cinta, maka bukti kerinduanku adalah mahalul qiyam." ~ Mufrih Al-Zarqali
"Jika aku nggak bisa sekuat hujan yang menjadi penghubung antara langit dan bumi, maka aku ingin menjadi doa yang menyatukan harapan dan impia...
К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.
🍂🍂🍂
Suara motor milik sang putri terdengar di telinga sepasang suami istri yang tengah duduk di ruang tengah kediaman mereka. Alzam yang sedang menyalin catatan nota pun menoleh pada sang istri.
"Akhirnya si teteh pulang, Bo," ucap Alzam sambil tersenyum pada Mili.
"Ya emang jadwal Fakhitah pulang jam segini, Al. Jangan mulai, deh," balas Mili yang melihat raut wajah sang suami sudah berbeda 180 drajat dari beberapa menit yang lalu.
Wanita yang mengenakan tunik serta celana kulot itu berjalan ke arah dapur, menyiapkan minuman dingin untuk sang putri. Jika biasanya ibu-ibu paruh baya seumuran Mili akan lebih nyaman mengenakan gamis, Mili tetap lebih nyaman dengan kulot serta tunik dan kaus lengan panjangnya.
Mili yang tomboi sedari dulu, hanya mengenakan gamis disaat-saat tertentu saja dan Alzam pun tak memaksa. Pria itu tak pernah mengatur, atau hanya sekedar mengomentari penampilan sang istri. Karena dari awal menikah Mili ya seperti itu dan Alzam menerima apa adanya. Menurut Alzam cara berpakaian istrinya masih terbilang sopan, tidak sampai memancing hasrat laki-laki lain.
Kerudung yang selalu menutupi dada, tunik panjang yang menutupi pantat bahkan lututnya. Celana kulotnya pun tampak gombrang, sama sekali tak menunjukkan lekuk tubuhnya. Bagi Alzam penampilan Mili itu lebih baik, daripada penampilan ibu-ibu yang mengenakan gamis, tetapi tak memperhatikan bahan yang digunakannya. Bahkan tak jarang ada ibu-ibu yang mengenakan gamis dengan bahan menerawang, baik itu disengaja, ataupun tidak.
Minuman buatan Mili selesai bertepatan dengan ucapan salam dari Fakhitah. Namun, ada yang berbeda dari gadisnya itu. Biasanya Fakhitah akan duduk bersandar pada Alzam sambil menceritakan hal yang ia lalui hari ini, lalu kenapa sekarang ia tergesa naik ke lantai dua. Dimana kamarnya berada setelah mengucap salam dan mencium punggung kedua tangannya.
"Eh, eh, teteh, kenapa?" Alzam yang mengetahui jelas perbedaan itu lekas bangkit dari duduknya dan siap mengejar Fakhitah, tetapi ditahan oleh Mili.
"Mau kemana?" tanya sang istri.
"Ngejar Teh Fafa dong, Boo. Anak kita itu kenapa? Ada yang macem-macem pasti ini," tebak Alzam dengan wajah khawatir.
Mili menaikkan sebelah alisnya. "Macem-macem? Kamu yakin ada yang berani macem-macem sama anak kamu itu?"
"Ya, siapa tau aja, Boo," jawab Alzam sedikit ragu. Ia mendadak lupa jika Fakhitah takkan bisa disakiti begitu saja. "Dia nggak bisa disakiti fisiknya, tapi hatinya, kan, bisa. Hayoh."
"Yang ada langsung dia tonjok, Al, cowok brengsek itu," ujar Mili. "Udah biarin aja, kita kasih ruang buat si teteh. Dia udah gede, bukan bayi yang selalu ngumpet di ketek kamu. Mending kamu bersih-bersih, pasti lengket banget abis dari showroom."
Alzam hendak menyanggah, tetapi tak mungkin bisa jika sang istri sudah bicara seperti itu. Alzam lebih memilih mencari aman, daripada berujung mengeluarkan jurus piting-memiting hanya untuk tidur memeluk istrinya malam nanti.
Sementara itu, di lantai dua. Tepatnya di sebuah kamar dengan dinding berwarna milky white, seorang gadis tengah berbaring di atas ranjang. Matanya terpenjam, dengan bibir terus mengukir senyuman serta tangan yang ia simpan diatas dada. Meremat gamis yang ia kenakan, berharap debaran itu cepat menghilang.
Fakhitah tak mengangka akan kembali bertemu dengan sang penolong. Sudah terhitung ini adalah pertemuan ketiga mereka, setelah kejadian yang takkan Fakhitah lupakan di jalan raya kilometer 10 kota Bogor setahun yang lalu.
"Kosong Lima," gumamnya sebari tersenyum.
Bayangannya kembali berputar pada sore hari yang lumayan mendung. Dimana saat itu Fakhitah yang notabene mahasiswa baru berani menimpali godaan kakak tingkatannya dengan nada garang, sesuai perintah sang ayah dan berujung dikejar oleh beberapa motor.
Masih kuat dalam ingatan Fakhitah saat itu dirinya mengenakan gamis berwarna hitam, yang membuatnya sedikit kesulitan. Bulu mata lentik dilapisi maskara yang ada di balik helm itu terus melirik ke arah spion, dimana pantulan dua motor yang sengaja mengejarnya terus mendekat. Fakhitah terus memutar otak, bagaimana caranya ia bisa lepas dari kejaran laki-laki brengsek yang sengaja mengejarnya, sedangkan showroom milik sang ayah terlampau jauh.
Salah, ia memang salah sudah mengikuti saran sang ayah untuk menimpali godaan para kakak tingkatannya dengan nada galak. Bukannya mereka takut, malah dirinya sekarang yang berada dalam masalah.
Perhatian Fakhitah yang sedang tak fokus, dimanfaatkan oleh pemuda di belakangnya untuk mendekat dan sengaja menyenggol motor milik gadis itu hingga oleng dan terjatuh tepat di jalan raya kilometer 10 kota Bogor tercintanya.
"Ah!" pekik Fakhitah panjang bersamaan dengan motornya yang oleng.
Untungnya saat itu Fakhitah menggunakan kendaraan matic, bukan motor sport kesayangan sang ibu. Andai saja saat itu ia mengenakan kendaraan kesayangan ibunya bagaimana penyesalan yang akan Fakhitah tanggung, jika sampai motor itu lecet, atau bahkan rusak?
Kendaraan milik kakak tingkatan yang menyenggolnya berhenti setelah berhasil membuat motor matic milik Fakhitah tersungkur, dengan tawa renyah mereka turun dan menghampiri gadis itu. Fakhitah bisa saja melawan, tetapi empat lawan satu sepertinya akan susah. Ditambah kondisi dirinya yang memiliki luka akibat tertimpa motor, sudah menjadi nilai minus untuknya. Fakhitah memilih diam dan tak membuka helmnya, dibandingkan melawan.
Tak lama Fakhitah berada dalam kondisi itu, tiba-tiba suara motor sport dengan harga selangit terdengar, semakin lama semakin kencang dan keras. Sampai fisik motor itu tampak berhenti dihadapan Fakhitah. Bisa gadis itu saksikan sang pemilik motor yang hanya mengenakan kaus seragam basket tanpa lengan berlapis dalaman berwarna hitam itu turun dan menghampiri empat orang pemuda pengganggu itu.
Fakhitah belum melihat wajahnya, tetapi nomor nol lima yang ada di punggung pemuda itu menjadi fokus utamanya. Entah bagaimana awalnya Fakhitah tak terlalu menyimak, yang ia tahu pemuda itu mulai beradu argumen dan cekcok kecil antara pemilik motor dengan si pengganggu pun tak bisa dihindari.
Tak lama cekcok itu berlangsung, sampai seorang pemuda yang mengganggunya itu meludah ke samping dan menyuruh teman-temannya untuk mundur.
Fakhitah baru bisa melihat wajah si penolong saat pemuda itu berbalik dan bertanya tentang keadaannya.
"Baik-baik aja, kan?" tanya si nomor punggung nol lima itu.
Kepala Fakhitah dibalik helm mengangguk pelan, dadanya mendadak berdetak kencang saat melihat pahatan indah yang dimiliki oleh ciptaan Allah yang satu itu.
"Ada yang luka? Mau dianterin ke klinik nggak?" tanya.
"Nggak usah, cuma luka kecil nggak papa, terima kasih," ucap Fakhitah susah payah.
Mufrih pun mengangguk. "Kalo gitu saya permisi dulu, lain kali hati-hati jangan naik motor sendiri. Assalamualaikum."
akhirnya ia berpamitan pada gadis yang ia tolong setelah memastikan kondisi Fakhitah. Bisa Fakhitah liat jika pemuda bernomor punggul nol lima itu sedang terburu-buru, belum lagi suara ponsel pemuda itu yang terus berdering menandakan jika dirinya memang tengah terburu-buru.
"Waalaikumsalam, terima kasih nol lima."
🍂🍂🍂
К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.