"Kalo mengikhlaskan adalah bukti cinta, maka bukti kerinduanku adalah mahalul qiyam." ~ Mufrih Al-Zarqali
"Jika aku nggak bisa sekuat hujan yang menjadi penghubung antara langit dan bumi, maka aku ingin menjadi doa yang menyatukan harapan dan impia...
Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.
🍂🍂🍂
Pagi harinya Mufrih memulai kesibukan dengan semua kegiatan di kampus. Mulai dari kelas, disusul bimbingan. Belum lagi rapat organisasi dan yang lainnya. Terkadang membuat Mufrih lupa untuk sekedar sarapan, ia akan merapel sarapannya dengan makan siang.
Sekitar pukul empat belas lebih dua puluh menit, pemuda itu baru bertemu nasi dengan lauk sate kikil dan toge goreng. Ia makan di kantin program studinya tanpa Fandi dan Deri. Entah kemana dua pemuda itu, Mufrih sendiri tak tahu. Sebab setelah selesai rapat tadi, keduanya pergi dan tak berpamitan pada Mufrih.
Saat sedang menikmati makanannya, ponsel dalam saku celana jeans itu bergetar. Awalnya ia diamkan, karena berpikir itu Lindra. Ia malas untuk mengangkat, karena pastinya pria itu sudah berada di pesantren dan menghubunginya untuk berbincang dengan Kiayi Safei. Mufrih bukan malas pada kiayi Safei, melainkan Bu Nyai Nunik. Sebab beliau pasti akan ada di sana bersama ayah serta anaknya itu. Belum lagi Lindra yang akan berbicara kemana saja pada kiayi Safei, membuat Mufrih lebih nyaman berbincang berdua saja dengan kiayi Safei.
Tak disangka getaran itu terus-menerus dan membuat makan Mufrih terganggu. Ia raih air es teh di depannya, lalu meneguk sedikit saja. Demi melancarkan perjalanan nasi dan toge goreng itu dari tenggorokan menuju lambungnya. Pemuda itu berdiri, merogoh saku celana dan mengambil benda pipih yang masih bergetar menunjukkan nomor yang tak ia kenal.
Mufrih gegas mengangkat panggilan itu, feelingnya mengatakan jika itu telepon dari salah satu showroom yang kemarin sempat ia hubungi.
"Halo, Assalamualaikum," sapa Mufrih.
"Waalaikumsalam, dengan Pak Mufrih?" tanya seorang dengan suara lembut diseberang sana.
"Iya betul, saya sendiri. Maaf ini dengan siapa?"
"Perkenalkan saya Dina dari showroom, bukannya kemarin Pak Mufrih kesini untuk bertanya tentang sepeda motor?"
Mufrih masih bingung, showroom yang mana? Sebab tak hanya satu showroom yang ia datangi kemarin. "Oh, iya, Mbak. Lalu bagaimana?"
"Apa bisa bapak kesini hari ini? Sebab motor yang bapak kemarin tanyakan sudah ada, mungkin bapak masih berminat?" terang Dina.
"Baik, saya kesana sekarang. Boleh share lokasinya, Mbak? Maaf, tapi saya tidak tahu ini showroom yang mana." Mau tak mau akhirnya Mufrih pun jujur, walaupun sedikit tak enak.
Mufrih tak hanya mencarikan kendaraan untuk pembelinya, terkadang ia pun menjualkan kendaraan milik teman-temannya. Namun, kali ini ia harus berurusan dengan banyak showroom. Karena kendaraan yang diminati sang pembeli sedikit langka.
Tanpa mengajak calon pembelinya, Mufrih pergi menuju showroom yang sempat menghubunginya tadi. Tentunya setelah menghabiskan makan nasi, sate kikil serta toge goreng yang mampu membuat energi baru untuk tubuhnya.