"Kalo mengikhlaskan adalah bukti cinta, maka bukti kerinduanku adalah mahalul qiyam." ~ Mufrih Al-Zarqali
"Jika aku nggak bisa sekuat hujan yang menjadi penghubung antara langit dan bumi, maka aku ingin menjadi doa yang menyatukan harapan dan impia...
Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.
"Kalo aku nggak bisa sekuat hujan yang jadi penghubung antara langit dan bumi, maka aku mau jadi doa yang menyatukan harapan dan impian aa."
Mufrih tersenyum simpul mendengar ucapan seorang gadis yang menatapnya dengan penuh harap, seorang gadis yang beberapa kali ia temui saat masih menutut ilmu di Univerditas Djuanda kabupaten Bogor. Kenapa bisa Mufrih hanya bertemu beberapa kali dengan adik tingkatannya itu? Jelas karena keduanya berbeda fakultas. Mufrih yang mengambil Fakultas Hukum, sedangkan Fakhitah mengambil Fakultas Ekonomi Syariah.
Dalam senyumnya Mufrih menghela napas. Ia gosok hidungnya yang tak gatal, lalu sedikit menggigit bibir tebalnya itu.
Kenapa keras kepala sekali gadis ini? Aku nggak mungkin sampai membuka aibku hanya demi membuatnya mengerti, kan?
"Jangan membuatku menjadi pria brengsek yang membuatmu mengemis perasaan ini, kamu berhak mendapatkan pria baik-baik," ucap Mufrih dengan harap-harap cemas, entah apa yang akan keluar dari mulut gadis di sampingnya ini.
Mufrih yakin sekali, Fakhitah tidak akan diam. Ia akan kembali berbicara dan semakin membuat Mufrih gatal untuk mengucapkan kalimat pamungkas yang mungkin akan membuat gadis itu menghindar. Bahkan menghilang dari hidupnya.
"Emang aa bukan orang baik? Aa maling? Koruptor? Atau aa suka nerima suap?" Pertanyaan beruntun itu yang keluar dari bibir Fakhitah dan mampu membuat Mufrih semakin bingung.
"Astagfirullah, bukan itu maksudku." Mufrih memejamkan mata.
"Terus apa? Aku tau aa orang yang jujur, pas kita kuliah aku sering denger dosen muji-muji aa," ungkap Fakhitah.
"Kita beda, Fa, beda," ucap Mufrih lirih masih menimbang-nimbang. Apa ia harus melakukan ini, atau tidak?
"Bedanya apa? Aa anak kiayi? Atau anak ulama?" Fakhitah mulai gemas, ia sampai menanyakan hal yang tak patut ditanyakan. Andai sang ayah mendengar ini, sudah pasti Fakhitah akan diceramahi.
Gadis itu pun yakin sekali jika ayahnya akan syok, jika melihat Fakhitah yang terlihat seperti sedang memaksa seorang laki-laki.
Mufrih menggeleng lemah. "Aku bukan anak kiayi, Fa, aku bukan anak pemilik pesantren seperti gosip di kampus dulu. Aku cuma seorang anak yang dititipkan di pesantren itu, lalu ditinggalkan begitu saja. Kamu nggak tau tempat asalku, kamu nggak tau bibit, bebet dan bobotku. Jangan mudah menilaiku, Fa."
Pemuda dengan kemeja berwarna biru langit itu menunduk. Ia menjeda ucapannya, demi mempertimbangkan kalimat selanjutnya, sedangkan Fakhitah bungkam. Gadis itu tak bodoh, ia jelas mengerti dengan kata dititipkan dan ditinggalkan begitu saja.
"Tolong mengerti, aku menghargai Om Alzam yang tak lain adalah ayahmu. Aku sangat berterima kasih karena selama ini keluargamu selalu baik padaku, tapi lebih baik hapus rasa ketertarikan itu. Karena berat untukku membalasnya." Mufrih melanjutkan ucapannya setelah dirasa pantas.
"A-"
Fakhitah baru hendak berucap, tetapi Mufrih memilih memotongnya.
"Aku yakin rasa kamu itu cuma ketertarikan biasa, jadi nggak akan susah buat kamu menghapusnya." Mufrih tak berani menatap sang gadis, mata onix miliknya terus menatap lurus ke arah jalanan kota Bogor sore itu.
"Kenapa aa seyakin itu? Aa lupa, kita emang punya doa, tapi Allah yang punya takdir. Kita punya ikhtiar, tapi Allah punya hasil." Fakhitah menguatkan hatinya, ia tak mau dianggap lemah oleh Mufrih.
Fakhitah memang berhijab, gamisnya pun lebar, tetapi bukan berarti ia memiliki sikap yang lemah lembut. Gadis itu memiliki sifat petakilan, jago bela diri dan mampu menggunakan segala jenis motor. Baik itu metik, bebek bahkan motor sport. Jadi, tak salah jika sikapnya sekarang pada Mufrih terlihat memaksa dan tak mencerminkan muslimah yang anggun.
Lalu aku harus apa, Fa? Apa aku harus membalas rasa dan memberanikan diri memintamu pada Om Alzam? Apa Om Alzam akan suka rela memberikanmu padaku? Apa kamu juga nggak akan nyesel dengan pilihanmu sore ini? Lebih-lebih setelah mengetahui semuanya dari ayahmu?
Subang, 11 Februari 2025
🍂🍂🍂
Hai, hai, hai🥰 Assalamualaikum, Cincahku semua. Fafa datang 😁😁 Selama satu bulan kedepan, Fafa, ayah Alzam dan Ibu Mili akan menemani hari-hari dan waktu ngabuburit cincah semua. Semoga dari kisah Fakhitah ini ada satu hal kecil yang bisa kita ambil. Jangan bosen-bosen yaa!!!! Jangan lupa pencet vote dan komennya. Makasih 🫰🫰🫰
Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.