18. Count The Days

90 13 4
                                        

“Ra,” Panggil Flo, tangan nya menggoyangkan pundak Cora yang tengah tertidur di area loker. Sudah sejam lamanya Cora berada di alam mimpi. Dia memanfaatkan jam istirahatnya untuk tertidur dan dia akan melakukannya lagi di jam istirahat kedua karena kebetulan hari ini dia mendapatkan long shift, “Lo yakin lo oke?”

Cora mengangguk. Sejujurnya Cora baru tidur ini, semalaman dia tidak berhasil mendarat di alam mimpi sebab pikiran nya terlalu kacau. Tiba - tiba pikiran tentang mungkin membuka hati untuk Kian memang kesalahan dari awal. Mungkin jatuh cinta dalam waktu empat bulan tidak seharusnya terjadi sejak awal, “Sudah ditunggu sama Vion di depan.”

“Oh iya.” Cora mengambil masker dan apron nya lalu keluar dari area loker. Dia dan Flo hari ini sama - sama mendapatkan long shift, sedangkan Vion baru masuk di shift ketiga.

Vion menggeleng melihat Cora, “Lo liat diri lo di kaca deh, kaca zombie.”

“Diem lo ah!”

Pintu Cafe terbuka, Grace berjalan masuk dengan merangkul tas laptop di tangan kanan nya sedangkan tangan kiri nya bertaut dengan tangan laki - laki jangkung, tinggi jauh berbeda dengan Grace, wajah nya kecil dan warna kulitnya hampir sama dengan Grace yang memang dikenal memiliki warna kulit seputih salju. Cora melirik canggung ke arah Vion, ternyata teman nya itu lagi menyibukkan diri dengan alat - alat kopi.

Cora tersenyum menyambut Grace, “Hai.”

“Cora, ini Malika my boyfriend,” Jelas Grace, “Malik ini Cora, kamu pasti tau kan aku sering mention nama dia waktu sama kamu.”

Malika tersenyum, “Nice to finally meet you, Cora. Grace cerita banyak banget tentang pertemanan kalian.”

Cora menatap bingung ke arah Grace, sebab teman nya itu tidak pernah menyebut Malika sebelum nya. Makanya dia cukup kaget begitu Grace membawa Malika bertemu dengannya dan sudah mengganti status mereka, “You owe me an explanation,” Bisik Cora, ke arah Grace.

Sore itu Grace menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Malika, tentu saja dari aplikasi dating online. Kebetulan Malika berencana menonton konser salah satu band yang datang ke kota bulan lalu dan berada di tempat yang sama. Jadilah, malam itu first date mereka dan sejak hari itu rutinitas Malika menjemput Grace ke kantor atau mereka sama - sama meluangkan waktu untuk makan siang bersama terjalin, “Terus jadian nya kapan?”

“Minggu lalu, duh gue gak tahan juga gak cerita sama lo tapi kayaknya lebih seru kalo gue bawa Malik langsung ke hadapan lo.”

Cora hanya menggeleng. Walaupun keadaan jadi sedikit canggung karena Grace dan Vion yang tidak saling bicara dan Vion menjadi lebih aktif mengantarkan minuman dari biasanya tapi akhirnya fase itu terlewat. Karena Grace dan Malika punya rencana lain malam itu, akhirnya mereka pamit waktu jam menunjukkan pukul tujuh malam.

“Gue beneran gak tau, Vi.”

Vion akhirnya duduk dan bersandar pada lemari tempat menyimpan stok cup kopi, “Gak apa - apa lah, gue sama Grace juga udah clear kok. Ya gue tau waktu dia nolak gue, dia lagi deket sama yang lain karena beberapa kali HP nya bunyi dan nama Malika ini call dia terus.”

“Jadi lo udah tau kalo si Malika in?”

Vion mengangguk lalu tersenyum masam. Dia memang tidak berharap banyak soal hubungannya dengan Grace karena Cora sudah memperingatkan juga kalau Grace merupakan orang yang detail sama apa yang dia mau dan keras kepala. Vion sadar kalah sejak awal dia bukan lah tipe cowok Grace, sebab itulah dia selalu ragu untuk melakukan pergerakan.

“Sepet banget muka lo berdua,” Tegur Flo.

Satu - satu nya laki - laki di antara Cora dan Flo itu memberikan cermin ke hadapan muka nya Flo, “Ngaca.”

“Ye gue mah udah jelas,” Katanya.

Cora dan Vion memandang bingung ke arah Flo, “Lo pada belum gue ceritain emangnya?” dibalas gelengan kepala oleh dua teman nya itu.

“Gue sama Zio beneran udah selesai. Gak bakal ada kontekan lagi karena dia sudah resmi tunangan.”

“What–” Suara bel pintu terdorong berbunyi, Kian dan tiga teman nya berjalan masuk ke dalam cafe, “The fuck.”

“Lo kenapa pura - pura sakit mulu sih?” Tanya Vion.

“Gue emang beneran sakit,” Gumam Cora, dia menunduk, menghindari bertatapan dengan Kian kalau saja ada kesempatan nya.

Ada satu muka asing yang baru Cora lihat berjalan bersama Kian, Zio dan Nikko, “Eh tumben lo berempat full team kesini,” Tegur Vion.

Nikko duduk di depan meja mereka, “Yoi, kapan lagi kan lo liat kita kesini full team.”

Zio langsung berjalan masuk ke dalam ruangan Kian, sedangkan tiga lainnya termasuk Kian masih berdiri di depan meja kasir.

“Mau bikin gebrakan apa?”

Mata Kian melihat satu - satu ke arah Vion, Flo dan terakhir ke Cora, “Masih sakit?” Tanya nya.

delapan pasang mata yang tadinya tidak melihat ke arah Cora langsung memandang Cora, “Hah?”

“Itu masih pake masker, masih sakit?” Tanya Kian, sekali lagi.

Entah kenapa suasana Cafe menjadi lebih dingin dari sebelum nya. Tangan Cora gemetar dan tentu saja jantung nya tidak berdegup santai seperti biasanya.

Cora mengangguk, “Iya, dikit sih.”

Tidak ada jawaban dari Kian, dia hanya mengangguk kemudian fokus nya beralih ke Vion, “Kopi biasa ya, ke ruangan gue.”

“Siap!”

Kemudian Kian, Nikko dan teman satu nya berjalan masuk dalam ruangan Kian.

“Itu siapa? gue baru liat mukanya.”

“Kenji. Biasanya dia yang paling sering kesini tapi akhir - akhir ini jarang banget sih emang.” Cora hanya mengangguk mendengar penjelasan nya Flo.

Menit demi menit berlalu sampai tidak terasa kalau jam sudah menunjukkan jam sebelas kurang lima belas dan Cafe sudah tutup total, lima belas menit lebih cepat dari biasanya sebab tadi Kian meminta waktu mereka sebentar sebelum pulang.

Mereka kumpul di area depan. Kian membicarakan tentang properti Cafe yang sudah mulai rusak, meminta mereka mencatat dan memberikan ke Vion. Kian juga membahas soal keterlambatan beberapa karyawan nya, dia berniat memperketat peraturan sebab sudah semakin banyak karyawan yang seenaknya sendiri. Terakhir Kian mengatakan Vion sebagai manager Cafe yang baru, “Mas Rio resign, Mas?”

Kian mengangguk, “Iya, beliau pindah ke kota lain. Gak sempat pamitan tapi titip salam ke kalian.”

Mereka hanya mengangguk. Setelah tiga belas menit akhirnya mereka dibubarkan dan boleh pulang. Cora menghela nafasnya berat begitu berjalan keluar Cafe menuju Andomart. Rasanya semakin berat melihat Kian di depan nya setiap hari tapi gak punya kuasa untuk tersenyum atau bahkan menatap mata laki - laki itu. Kalau saja tau bos di tempat kerja nya adalah laki - laki yang selama ini bersama nya, rasanya dia tidak perlu repot berdoa agar bos nya itu datang mengunjungi Cafe.

HP Cora bergetar, nama Kian sekali lagi muncul dalam layar HP nya. Kali ini Cora menekan tombol hijau di HP nya, suara Kian terdengar di seberang sana memanggil nama Cora berkali - kali namun tidak kunjung ada jawaban.

Cora menyandarkan kepala nya di stir mobilnya sambil mendengarkan Kian mengoceh tentang masakan yang dia buat hari ini. Cora bersusah payah untuk menahan suara isak kan nya agar Kian tidak mendengarnya.

“Aku kirim ke apart kamu makanan nya. Nanti kalau sudah sampai di cium dulu makanannya basi atau enggak soalnya udah dari siang,” Jelas Kian, “Ra, aku bakal terus tunggu sampai kamu siap buat ngomong sama aku lagi. Good night.” Kian kemudian menutup sambungan telepon mereka, saat itulah tangis Cora pecah.

•••••

pengen bikin ceritanya Flo, Zio dan Alika: yes or no?

Invisible StringWhere stories live. Discover now