Prolog - Wake Up

2.9K 171 12
                                        

Freya Dominique tidak pernah menyangka, akhir hidupnya akan sesederhana ini. Sebenarnya lebih ke aneh.

Saat itu malam minggu-seperti biasa, ia menghabiskannya dengan duduk bersila di kasur, selimut melilit pinggang, dan ponsel menyala terang di hadapannya. Matanya fokus, jarinya lincah mengetuk layar, menembus dialog panjang dalam In The Spring Between Us, visual novel terbaru yang sudah seminggu membuatnya lupa makan malam dan matahari pagi.

"Dasar Gerald, kenapa harus pilih dia sih?!" gumamnya kesal, menatap Alexandra Brielle, sang protagonis yang terasa terlalu lembek menurut standar pribadinya. "Amara juga, udah tau Gerald Redflag, tetep dikejar."

Freya menguap lebar, tubuhnya perlahan miring ke samping. Kepala berat, mata mulai mengabur. Tapi masih ada satu rute lagi, satu ending lagi, satu keputusan lagi-begitu pikirnya.

Satu ketukan terakhir.

Satu pilihan terakhir.

Dan... gelap.

Bukan karena game-nya crash. Bukan karena baterai habis.

Tapi karena tubuh Freya menyerah, jatuh tertidur terlalu lama, dalam posisi yang salah, dengan sirkulasi darah yang entah bagaimana kacau, hingga... ya. Mati. Gara-gara bermain game tanpa jeda.

Konyol? Sangat.

Layak disesali? Mungkin.

Freya? Kalau masih hidup, dia pasti akan tertawa paling keras tentang kematiannya sendiri.

-_-_-_-

Freya membuka mata dengan berat, seolah kelopak matanya dipenuhi pasir. Pandangannya buram, cahaya putih lembut menusuk dari jendela. Perlahan ia mengenali atap putih polos di atasnya, bau antiseptik samar di udara, dan kasur yang terlalu empuk untuk kamar sempit miliknya.

'Gue... di mana?'

Sebelum bisa menggerakkan tubuh, pintu ruangan berderit terbuka.

Seorang pria paruh baya-mengenakan jas putih-melangkah masuk, diikuti oleh seorang pemuda dengan seragam sekolah rapi. Wajah pemuda itu... ah, tentu saja Freya mengenal wajah itu. Si lelaki sejuta pesona dari game In The Spring Between Us. Tunggu.. ada yang salah.

Gerald William?

"Alexandra!" seru Gerald cemas, melangkah cepat ke sisi ranjang. "Syukurlah kamu sadar."

Alexandra?

Freya mengerjap, nalar dalam otaknya mulai menjerit. Ia ingin bertanya, ingin protes, tapi tubuhnya seolah berfungsi otomatis, bibirnya membentuk ekspresi lembut, pandangan matanya menghangat, persis seperti Alexandra Brielle di dalam game.

Sial.

"Bagaimana perasaannya, Alexandra?" tanya dokter UKS dengan suara tenang, mencatat sesuatu di clipboard.

"Sedikit pusing..." suara Freya-atau lebih tepatnya Alexandra-terdengar lembut, manis. Terlalu bertolak belakang dengan nada dominannya yang biasa. Rasanya aneh. Dia? Kenapa dia di sini? Di dalam game?

"Gue dalam game, njir?" Batinnya.

Gerald mengerutkan kening, rahangnya mengeras.

"Ini semua salah Amara," desisnya, suara dalamnya penuh emosi. "Kalau saja dia tidak memaksamu berlatih berjam-jam di bawah terik matahari untuk acara amal sekolah... kamu tidak akan pingsan begini!"

Amara?

Freya dalam hati nyaris mengerang. Tentu saja. Bukankah dalam game, Amara Celeste selalu digambarkan sebagai sosok antagonis licik yang suka menjebak Alexandra?

Tapi... saat nama Amara disebut, alih-alih membenci, ada sesuatu yang aneh bergetar di dalam dada Freya. Sebuah rasa ingin tahu. Sebuah perasaan tak dikenal yang perlahan mencuat.

Bodoh, pikir Freya. Tapi sebagian dirinya sudah tahu, jika ada seseorang yang ingin ia selamatkan di dunia baru ini, itu bukan Gerald William si pangeran sempurna.

Melainkan Amara Celeste.

Freya menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan pikirannya yang tercerai-berai. Badannya masih terasa lemas, tapi pikirannya justru mulai bekerja cepat. Ini bukan mimpi. Ini juga bukan semacam bonus ending absurd dari game yang dia mainkan. Ini... nyata.

"Kalau begitu, istirahatlah dulu. Jangan pikirkan yang lain," kata dokter, menepuk ringan clipboard-nya sebelum melangkah keluar, meninggalkan Gerald yang masih setia berdiri di sisi ranjang.

Freya-atau Alexandra, terserahlah-melirik sekilas ke arah Gerald. Dalam hati, ia mendesah panjang.

'Gerald, lu tuh cakep, tapi minus banget kalo udah nyalahin orang kayak bocil rebutan mainan.'

Gerald masih bergumam penuh kekhawatiran tentang Amara, tentang bagaimana gadis itu selalu membuat masalah, tentang bagaimana Alexandra harus menjauhinya. Panjang, lebar, dan... membosankan.

Freya mengerjap pelan, menahan diri untuk tidak menggulung mata. Rasanya seperti diceritakan sebuah dongeng pengantar tidur.

Kalau dia mau jujur, sejak awal main game ini pun dia udah muak sama plot Gerald vs Amara. Sekarang disuruh ngalamin drama ini langsung? No, thanks.

Saat Gerald sibuk membahas soal "betapa berbahayanya Amara," Freya diam-diam membuat keputusan.

Kalau sistem dunia ini memaksanya untuk hidup sebagai Alexandra, ya... dia bakal main dengan aturannya sendiri.

Bukan sebagai gadis baik-baik yang patuh.
Bukan sebagai pion dalam drama picisan ini.

Tapi sebagai dirinya sendiri-Freya Dominique.

Dominan. Kepala batu. Dan mungkin, sedikit chaos.

Dengan perlahan, Freya menoleh ke arah Gerald, memasang senyum lemah yang Alexandra biasanya tunjukkan. Tapi di balik mata lembut itu, ada tekad yang membara.

Temukan Amara Celeste.

Selamatkan dia.

Tulis ulang ceritanya.

Dan siapa tahu, pikir Freya sambil tersenyum kecil, dunia ini bisa jauh lebih seru kalau dia sendiri yang pegang kendali. Dia tahu seberapa Amara dibuat menderita diakhir cerita oleh Gerald. Itu membuatnya muak, seorang laki-laki memperlakukan seorang perempuan seperti itu.

Transmigrasi: In The SpringWhere stories live. Discover now