"Ayahanda!" Ku panggil orang itu yang ternyata adalah ayah yang akan pergi menghadapi naga di luar sana. Ku lihat ayah yang segera berhenti mendengar panggilanku, terlihat dari wajahnya bahwa ia terlihat panik sekaligus khawatir. Sebelum dirinya pergi keluar dari rumah, ayah berbalik menghampiri kami bertiga. "Kalian lebih baik segera pergi menjauh dari desa. Jangan lupa memberitahukan kepada yang lainnya untuk segera menjauh dari desa. Ayah akan menghadapi naga itu dan kalian pergilah sejauh mungkin supaya tidak terkena dampak serangan." ucap Ayah sebelum pergi meninggalkan kami bertiga.

"Mari kita pergi!" Dengan cepat Ibu menarik tangan kami berdua untuk segera keluar dari rumah dan menjauh dari desa. Namun, aku menghentikan langkahku membuat Ibu berbalik menatap diriku panik. "Sayang, ayo kita pergi!" Ibu terlihat sangat panik tidak seperti biasanya, bahkan aku juga heran dengan wajah ayah sebelum meminta kami untuk pergi menjauh dari desa.

Aku merasakan bahwa sebentar lagi hidup ku yang damai ini akan segera berakhir dan aku akan pergi meninggalkan orang-orang yang aku sayangi. "Ibunda, tunggu sebentar! Aku ingin mengambil barang-barang penting sebelum pergi." Entah dorongan dari mana aku merasakan bahwa aku harus membawa barang-barang penting yang ada di dalam kamarku.

Tanpa menunggu respon Ibu, aku segera melepaskan tanganku dari genggamannya dan berlari masuk kedalam kamarku untuk mencari barang tersebut. Aku bergegas masuk kedalam kamar untuk mengambil sebuah kotak yang belum sempat kubuka dan kuketahui isinya. Di dalam kotak itu adalah sebuah hadiah yang Ayah, Ibu, dan adikku berikan dihari ulang tahunku. "Sayang, kita harus segera keluar!"

Merasa aku hanya perlu membawa ini dengan segera ku melangkah pergi meninggalkan kamarku hingga sebuah benda menarik perhatianku. Sebuah batu perekam, yang di dalam batu itu terdapat sebuah gambar tentang sebuah keluarga yang terlihat bahagia. "Ini adalah foto keluargaku!" Tanpa berlama-lama lagi aku segera keluar dari kamar menuju kedua orang yang kusayangi untuk pergi sejauh mungkin dari desa.

Disepanjang perjalanan banyak sekali inu yōkai yang berlarian keluar dari desa atas perintah Ayah. Kami bersama-sama keluar bersama inu yōkai lainnya dan membantu mereka yang terkena reruntuhan serta terluka. Walaupun kami adalah yōkai, tetapi kami tidak melupakan satu sama lain apabila ada yang memerlukan pertolongan.

Ku lihat dari jauh Ayah sedang bertarung dengan naga iblis, Ryūkotsusei. Aku tahu bahwa Ayah adalah seorang inu yōkai yang sangat kuat, bernama Tōga. Ia bahkan dijuluki sebagai Inu no Taishō dan Inu no Daiyōkai, sudah pasti Ayah akan menang melawan iblis naga itu. Akan tetapi, aku melihat ayah memiliki banyak luka akibat pertarungannya itu. Disaat aku melihat ke belakang para inu yōkai yang lainnya berjalan menjauh dari desa tempat kami tinggal, seperti perintah Ayah. Namun, aku tidak bisa diam saja melihat Ayah terluka akibat iblis naga, Ryūkotsusei.

Saat ini aku bimbang antara menuruti perkataan Ayah atau melanggarnya. Ku lihat Ibu, adikku, dan para inu yōkai lainnya. Aku bimbang untuk memutuskan hal besar yang mungkin saja merupakan takdir yang sudah ditakdirkan kepada diriku, yaitu berpisah dengan orang-orang yang kusayangi. Merasakan waktu yang terus saja berjalan di setiap kebimbanganku, aku melihat kedepan dimana Ayah bertarung melawan naga iblis dengan tubuh penuh luka dan Ibu, adikku, serta inu yōkai lainnya.

Setelah menimbang-nimbang keputusan mana yang akan kuambil diriku berlari kearah Ibu dan adikku. "Sayang, kamu kenap-" Ibu terlihat terkejut dengan pelukan yang tiba-tiba ku berikan. Adikku yang berada di sekitar situ dengan segera menghampiri kami dengan wajah bingungnya "Kakak, sebenarnya ada ap-" Sebelum adikku menyelesaikan kalimatnya aku segera merengkuhnya, sehingga kami bertiga berpelukan.

"Maafkan aku. Aku menyayangi kalian." ucapku yang terdengar seperti sebuah bisikan, tetapi Ibu dan adikku dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Selesai memberikan kata-kata terakhirku untuk kedua orang yang kusayangi, aku segera berlari menjauh memasuki desa. Saat aku berlari terdengar teriakan Ibu dan adikku yang ditahan oleh inu yōkai lainnya, sehingga mereka tidak dapat menyusulku. Setelah aku berhasil memasuki desa, sebuah kabut putih yang sangat tebal memenuhi desa hingga tidak terlihat apapun dari luarnya.

"Tidak, putriku!" Jerit tangis penuh kesedihan terdengar dari seorang wanita yang kini sedang ditahan oleh para inu yōkai. "Tidak! Tidak! Onee-chan!" Terdengar suara teriak dari seorang anak laki-laki yang biasanya ceria dan penuh canda tawa kini terdengar menyayat hati para inu yōkai yang ada di sekitarnya. Mereka ingin sekali membantu keduanya untuk membawa kembali putri dari pemimpin desa. Akan tetapi, mereka mendapatkan perintah dari Tōga selaku kepala desa untuk menjaga mereka menggantikan dirinya.

"Lepaskan! Aku ingin putriku!" Wanita itu terus saja meraung-raung untuk dilepaskan. Sebenarnya mereka tidak tega melihat istri kepala desa, Inukimi, dalam kondisi seperti ini. Namun, apalah daya mereka yang tidak ingin kehilangan kedua orang ini. "Kalian lepaskan aku!" Anak laki-laki itu terus saja memberontak karena kelelahan, ia pun pingsan. Inukimi yang melihat sang putra pingsan pun segera menyuruh inu yōkai pria untuk segera melanjutkan perjalanan mereka untuk segera mengobati putranya yang pingsan itu.

I'm Inu Yokai HimeWhere stories live. Discover now