BAB 4 I DON'T KNOW

1.9K 90 2
                                    

Sungguh hari ini aku sangat tidak berminat bekerja, jika saja aku tidak memikirkan nasib gajiku bulan depan, aku akan memilih untuk bersantai ria di kamar kostku, tidak seperti sekarang.

Pak Budio tidak tanggung-tanggung memberikan pekerjaan sebanyak ini. Memang si, dia hanya menyuruhku membuat ulang laporan keuangan bulan kemarin yang katanya terjadi kesalahan dilaporan yang aku serahkan dua minggu lalu.

Sekedar info aja, membuat satu laporan itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit, aku harus memastikan dengan teliti pengeluaran beserta pemasukan yang aku tulis itu sudah tepat dan sesuai dengan bukti-bukti transaksi yang aku lampirkan.

Aku memang sudah satu tahun menjalani pekerjaan ini, tapi tetap saja pekerjaan ini masih berhasil membuat kepalaku meledak.

"May, serius amat si," lagi-lagi Nina mengganggu kosentrasiku. Aku tidak menggubrisnya.

Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku sebelum jam makan siang, karena hari ini aku sudah berjanji untuk makan siang bersama Ratih. Aku ingin curhat padanya mengenai permintan CEO sinting yang memintaku menjadi istrinya, hemmm, istri sementara maksudnya.

."Ahh, akhirnya selesai juga laporan gue" teriakku kegirangan seperti baru saja terlepas dari tali yang menjerat tubuhku.

"Biasa aja dong, nggak bikin kuping gue budeg juga kali" sewot Nina menutup kuping dengan kedua tangannya. Sudah kubilang dia itu lebay, padahal suaraku tidak kencang-kencang amat.

"Bodo, sekarang udah jam makan siang, gue duluan yaa!!" Kataku setelah melirik jarum jam di tanganku.

"Lo nggak ikut bareng kita?" Tanya Arum sambil menutup layar laptopnya.

"Nggak, gue mau makan siang di luar aja,"  jawabku seranya memasukan ponselku ke dalam tas.

✧✧✧


"Hah, sumpah lo serius, May?" Teriak Ratih setelah aku menceritakan mengenai istri sementara. Aku tahu bakal seperti ini.

"Terus elo mau? Bego sumpah kalau lo sampai nolak" lanjut Ratih. Apa maksudnya?.

"Lo udah gila ya, Rat"

"Gue waras, May. Justru lo gila kalau sampai nolak rejeki."

"Rejeki yang mana yang lo maksud?" tanyaku.

"Lo bilang si Dimas itu CEO di  perusahan lo, berarti dia orang kaya, kan?"

"i-yah"

"Nah, dan Lo bilang katanya si Dimas itu bakal menafkahi lo layaknya seorang istri, lo harus bisa morotin dia selama kalian bersatus suami istri, kalau bisa sampai tetes harta terakhir." Jelasnya

"Gue bukan cwe matre kaya lo,  buat gue pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan permainan yang bisa dimainkan seenaknya aja. Gue cuma pengen menikah dengan orang yang gue cintai dan sebaliknya." Aku masih tidak menyangka dengan pemikiran Ratih, dia pikir pernikahan itu apa?.

"Gue minta maaf, May. Seharusnya gue tahu ini masalah penting buat lo. So, sekarang apa yang akan lo lakukan?" tanyanya penuh dengan penyesalan.

"Gue nggak tahu, yang jelas gue nggak mau nikah sama setan CEO macam Dimas" jawabku.

"Gue bakal dukung semua keputusan lo, kalau nanti lo butuh bantuan gue jangan segang buat minta sama gue."

✧✧✧
Sekarang sudah jam 6 pagi, kenapa jamnya berputar begitu cepat? Aku masih ngantuk. Beberapa hari ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. CEO sialan.

Aku menggerakan badanku untuk turun dari atas kasur, tapi sebelum aku berhasil turun,  ponselku berbunyi.

Ada apa? tidak biasanya ibu menelpon sepagi ini.

"Assalamu'alaikum, Ad- "

"May, ginjal ayahmu kumat lagi, sudah semalam ayahmu di rumah sakit. Kata dokter ayahmu harus segera dioperasi, tap- "

"Kenapa tidak mengabariku dari semalam? kan, Maya sudah bilang Bu, jika ada apa-apa dengan kondisi ayah segera hubungi Maya. Maya akan mengirim uang untuk biaya operasi ayah, nanti. Berapa biaya operasinya, Bu?" Aku sedikit emosi, demi Tuhan tidak ada maksud durhaka pada ibuku sendiri.

"Maaf, ayahmu yang melarang ibu memberitahumu. 50 juta. Ibu tahu kamu tidak mungkin punya uang sebanyak itu" Aku dengar ibu mulai menangis.

Tak terasa air matakupun ikut menetes. Sudah setahun lebih Ayahku menderita gagal ginjal.Ayahku adalah laki-laki yang terhebat. Beliau tidak pernah mengeluh sedikitpun mengenai penyakitnya.

Aku selalu mengingat perkataan Ayah.

"jangan pikirkan penyakit ayah! Semua orang pasti akan mati. Orang yang akan mati pasti sedih, bukan sedih karena ajal yang menyakitkan, tapi sedih melihat tetesan air mata yang keluar dari orang yang disayangi. Orang yang akan mati akan memilih mati dari pada harus melihat orang yang disayangi kesakitan demi memberikan sedikit kehidupan. Bagi ayah,  anak-anak dan istri ayah adalah sesuatu yang paling berharga"

Air mataku terus keluar tak mau berhenti dan kudengar ibuku yang memanggilku berulang-ulang.

"Iya, Bu. Ibu tenang saja. Pagi ini Maya pasti akan mengirim uang"

"Tapi darimana kamu mendapat uang sebanyak itu?"

Aku terdiam sejenak, aku harus mengambil keputusan. Semoga keputusanku ini benar. Tidak ada alasan lain kecuali Ayah.

"Aku punya tabungan kok, Bu. Walaupun tidak sebanyak itu, tapi nanti kekurangannya aku bisa meminjam pada teman kerjaku, dan akan aku usuhakan untuk bisa segera pulang" Aku terpaksa berbohong pada Ibu.

Setelah Ibu memutuskan saluran teleponnya denganku hanya ada satu nama di otakku. Dimas. Iya,  Dimas. Aku harus segera menemuinya.

Cinta sejatiWhere stories live. Discover now