17. Mati?

29 8 2
                                    

Usai pertarungan mata yang hebat dan melibatkan hati, Lio akhirnya tertidur. Kali ini sungguh tidur, tidak lagi hanya memejam mata. Emily mengempaskan tubuh ke sofa, punggungnya terasa remuk, dia begitu kelelahan. Setelah punggungnya menyandar penuh, tatap matanya justru kembali terjatuh pada sosok Lio yang terbaring lemah di sana. Dia lalu melirik jam tangannya, sudah hampir pukul sembilan malam. Saat ibunya sekarat, dia jarang menemani bahkan sampai keadaannya pasca operasi sudah semakin membaik, Emily hanya terus mendapatkan kabar terbaru dari perawat yang dia sewa. Namun, dengan Lio, Emily rasanya untuk tidur beberapa jam saja berat.

Emily lalu teringat bagaimana reaksi Lio saat melarangnya menghubungi mantannya tadi, juga sederet kata Lio yang secara tak langsung menginginkan terus mengingat dan berada di samping perempuan itu. Tanpa sadar, kedua sudut bibir Emily terangkat membentuk senyum simpul yang terlihat kaku. "Aku bingung dengan perasaanku sesungguhnya. Aku nyaman saja di dekatmu, tapi yang membuatku bingung, aku nyaman di dekat tubuh Harold, atau di samping jiwamu, Lio? Terlalu ambigu bukan? Seseorang yang membuatku nyaman punya pemilik berbeda antara tubuh dan jiwanya," desah Emily.

Matanya sudah sayu menahan kantuk. "Apa aku tidur saja sebentar? Sepertinya tidak akan ada masalah, toh ... dia juga sudah tidur." Pada akhirnya dengan posisi yang hanya duduk menyandar, Emily tertidur, dalam sekejap sebab kelelahan seharian ini.

Setelah mata Emily tertutup rapat, Lio justru membuka mata. Ya, Emily tertipu. Dia mengira kali ini Lio sudah benar-benar tidur, tetapi nyatanya tidak. Meski lehernya terasa kaku dan berat, Lio tetap berusaha memalingkan wajah dan menatap Emily yang sudah tertidur pulas. Wajahnya terlihat lesu, Lio juga mendengar semua kalimat Emily tadi.

Emil, aku juga merasakan hal aneh padamu. Rasa aneh ini, kuyakini bukan dari tubuh Harold, tapi dari hatiku sendiri sebagai Benvolio. Tubuhku kesakitan, aku lelah, tapi aku lebih memilih terjaga dan menatapmu sebelum aku benar-benar menunggalkan tubuh Harold. Setelahnya, aku tak tahu apa masih bisa bertemu denganmu atau tidak. Lio berkata dalam hati. Lio menyadari bahwa sudah ada jalan keluar dari masalahnya. Sebentar lagi para anak itu akan akur. Seharusnya Lio pun merasa senang dan lega, tetapi hatinya menolak.

Ada rasa tak rela, satu-satunya alasan kenapa rasa tak rela itu ada ialah Emily. Karena itu pula, malam ini Lio berniat untuk menatap Emily lebih lama. Please, Lio, perhatian wajah Emil baik-baik. Lihat lentik bulu matanya, hidungnya yang mancung, bibirnya yang ranum, alisnya yang sempurna, rahangnya yang cantik, bahkan lehernya yang jenjang. Ingat baik-baik. Kalau seandainya tidak ada lagi pertemuan, setidaknya wajah-wajah itu masih membekas di pikiran. Lio berharap.

Beberapa saat, Lio tetap saja larut memandangi wajah Emily, hingga tiba-tiba gadis itu bergerak tak nyaman. Lio segera kembali menutup mata, takut jika Emily mendadak membuka mata dan melihatnya. Benar saja, Emily terbangun dengan sayup-sayup tatapan yang masih setengah sadar. Lio mendengar langkah Emily berjalan menuju toilet. Tak menunggu lama, Emily kembali keluar. Namun, langkahnya tak lagi tertuju pada sofa, melainkan menggapai kursi yang berada di samping brankar Lio itu. Tangan Emily tergerak untuk memperbaiki letak posisi selimutnya.

Kenapa ke sini, sih? Kau itu baru tidur sebentar, harusnya balik tidur! Lio mendesis dalam pikirnya. Dia jadi tak punya kesempatan untuk melihat wajah Emily lagi. Pun, dia juga rasanya memang tak bisa tertidur.

Berselang beberapa menit, Emily terus menatap wajah Lio tanpa berkata apa pun. Hingga tiba-tiba, dia menyadari adanya gerak-gerik di sekitar mata Lio, hidungnya seperti orang yang mengerang. Emily mendadak diserang cemas. "Lio ... kau terbangun? Kau kenapa?" tanyanya panik. Tangan Lio pun mendadak mengepal, perlahan mulai keluar suara desis dari bibirnya.

Tangan yang mengepal itu terangkat ke dadanya, sedetik setelahnya ... seluruh tubuhnya kaku dan menegang, otot-otonya menonjol dan nafas terdengar menderu dan sesak. "Lio! Sadar!" Emily berusaha mengguncang tubuh Lio, tetapi tak membuahkan apa-apa, Lio tetap kejang-kejang. Napasnya semakin menggelegar keluar masuk tak beraturan. Emily yang hanya sendiri itu semakin kalang-kabut ingin bagaimana dan berbuat apa. Dia berlari ke sisi sebelahnya dan segera menekan tombol merah di sana, rumah sakit ini rumah sakit terbaik, dia percaya pelayanannya bahkan jika sekarang sudah larut malam.

Transmigration of Old Husbands [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang