Bab 21: Dipikir Nanti

28 2 0
                                    

(Menunda hanya akan membawa petaka, apalagi perkara perasaan)


Niat Gusti untuk bangun agak siangan buyar setelah seseorang mengetuk pintu kamarnya keras-keras. Dengan langkah gontai dan mata yang masih lengket, dia membuka pintu. Ada Herman di sana, cukup melipatgandakan hasrat Gusti mencabik-cabik perutnya.

"Ono opo toh?" tanya Gusti kesal dengan mata setengah tertutup.

"Abis nonton bola, Gus?"

"Kowe ngetok-ngetok kamarku cuma buat nanya itu?"

"Aku mau pinjem duit, Gus."

Dahi Gusti mengerut. "Buat?"

"Nagano-san bawa salmon mentah tiga kilo, Gus, bersama dengan kuitansi 10.000 yen."

Gusti melongok. Dia melihat Nagano-san dengan kilauan rambut singanya menunggu di depan kamar Herman. "Gara-gara obrolanmu kemaren sama dia ya?"

Herman menjawab dengan anggukan. Sorot matanya penuh penyesalan.

"Saudara Herman, makan tuh daijobu!" sembur Gusti seraya menutup pintu dan harapan Herman.

***

Dipikir Nanti

Herman memandang vending machine yang menjual roti di kampus, sore itu. Perutnya lapar dan roti adalah satu solusi cepat. Dia bisa saja pergi ke restoran sushi terdekat, tetapi ditangguhkan karena dia ingin mengirit setelah membeli—lebih tepatnya dijebak—tiga kilogram salmon dari Nagano-san.

Pria berwajah senior itu akhirnya memilih roti manis seharga seratus yen. Mulutnya langsung melahap sembari meresapi kagum dengan bertaburannya mesin penjual otomatis di seluruh penjuru Tokyo. Data yang sempat dia temukan dari internet menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya ada lima juta vending machine di seluruh Jepang yang ternyata tak hanya menjual produk pangan, melainkan produk lain seperti payung, topi kucing, kondom, hingga celana dalam. Herman jadi berpikir, kalau ada vending machine bukankah sebaiknya pemerintah Jepang membubarkan seluruh konbini dan pecat semua orang?

Setelah menghabiskan rotinya, Herman beranjak ke arah study room, ruangan yang disediakan kampus untuk mahasiswa pascasarjana guna mendukung proses belajar mandiri. Sayangnya, konsep mulia itu secara tidak bermartabat dialihfungsikan sebagai tempat bergosip ria. Di perjalanan, dia berpapasan dengan Gusti dan Seruni. Mereka bergandengan tangan. Herman terkejut melihat pemandangan tak lazim itu.

"Hai, Mas Her, mau ke mana?" sapa Seruni. Gusti langsung melepaskan tangannya dan tak berani memandang Herman.

"A-Aku mau ke study room. Kalian?"

"Kami mau ke perpus."

Ganjalan di hati Herman membuatnya berinisiatif, "Eh, Aku boleh pinjem Gusti-nya sebentar?"

Seruni memandang Gusti. Gusti mengangguk dan menyuruh Seruni duluan. Setelah wanita itu berlalu, Herman langsung menarik jaket Gusti dan mendudukkannya di sebuah bangku di taman kampus.

"Sekarang jelasin, Gus. Maksude opo? Temen kok gandengan?"

Gusti yang tertangkap basah sepertinya harus berterus terang. Toh, cepat atau lambat Herman akan mengetahui progres hubungannya.

"Aku jadi Her, sama Uni."

"Heh? Jadi opo?" serang Herman.

Gusti menghela napas. "Jadian, Her."

"Asyuuuu." Herman menggaruk-garuk kepalanya sambil misuh-misuh. "Edan, dirimu, Gus! Kok bisa? Terus Mbak Lian piye?"

Gusti mulai menceritakan seluruhnya. Cerita tentang sebenarnya dia sempat ingin memutuskan untuk jujur ke Seruni. Namun, pendiriannya goyah setelah wanita itu menyatakan perasaan. Semua disampaikan runtut.

"Memang, aku jadi enggak enak sama Lian. Tapi menurutku, ora ono sing salah, Her. Aku enggak selingkuh. Aku belum ada komitmen sama Lian. Dan, Lian cuma temenku."

"Tapi kan Mbak Lian ngarep, Gus. Mbok ya diselesaikan dulu, baru lanjut ke cewek lain."

"Enggak semudah itu."

"Enggak semudah itu piye? Wong tinggal bilang,

Lian, maaf aku enggak bisa nerima perasaanmu. Aku baru dapat wangsit dan ternyata hatiku jatuh ke Seruni.

Susahnya di mana?"

"Ya susah, Her. Ngomong itu gampang, yang ngejalanin itu pusing"

"Pusing yang dirimu bikin sendiri. Aku enggak ngerti lagi, Gus." Herman kesal maksimal. "Terus rencana selanjutnya opo?"

"Ora ngerti. Ta' jalanin dulu aja. Untuk nanti ya dipikir nanti ajalah."

Herman memijit dahi. Bayangan konsekuensi buruk sudah tergambar di kepalanya. Namun, Herman sadar dia tak bisa apa-apa.

"Ya wis, terserah, Gus. Wong dirimu udah gede tuek. Yang jelas, aku enggak mau ikut-ikut kalo ada masalah. Sekali lagi, aku enggak mau kecipratan masalahmu. Titik." Herman mendengus dan berlalu meninggalkan Gusti yang kosong.

****

Cilok dan RamenWhere stories live. Discover now