Bab 11: Menggali Kenangan

26 4 2
                                    

(Menggali Kenangan: Kegiatan mencari penyakit tetapi yang melakukan rela-rela saja.)


Bagi Herman, kelas Inequality and Poverty adalah cobaan. Selain karena topiknya bikin sakit kepala, jadwal kelas itu mengganggu waktu tidur siang. Sebagai makhluk yang paham akan hal itu, Gusti secara setia dan sukarela meluangkan waktu untuk membangunkannya. Metode yang digunakan selalu efektif. Seperti hari ini, Gusti menyumpal telinga Herman dengan earbuds dan tanpa memikirkan moralitas, dengan lantang memainkan salah satu lagu underground. Dampaknya jelas, dua vertebrata itu berhasil datang ke kelas tepat sebelum Prof. Yamada muncul, walau sepanjang perjalanan Herman misuh-misuh.

"Tunggu somasi dari pengacaraku, Gus!" ancam Herman. Gusti merespon dengan cengengesan.

Di sudut kelas, Seruni dan Mila melambaikan tangan. Gusti membalas dengan senyum dan secara natural duduk di sebelah Seruni. Sementara itu, Herman memilih duduk di dekat Thuy guna mengaplikasikan tip dan trik mendekati wanita asing dari internet semalam.

Siang itu, Seruni tampak memikat. Riasan tipis membuat kulit kuningnya menyala natural. Rambutnya diikat ekor kuda. Sepatu kets, jelana jeans di atas mata kaki, dan kemeja panjang krem dengan ujung lengan tergulung menimbulkan kesan sederhana tapi asyik di mata Gusti. Tanpa membuang waktu, Gusti menyapa,

"Udah lama?"

"Baru aja kok, Gus," Seruni senyum. Di sampingnya, terlihat Mila menguap beberapa kali.

"Un, kalo nanti gue tidur, tusuk-tusuk aja ya sampe bangun." Mila adalah pemegang medali emas olimpiade cabang tidur di kelas. Tidak satu pun kelas dia lewati tanpa tertidur, di mana pun dan kapan pun jadwalnya. Satu-satunya makhluk yang mampu mengalahkannya adalah Nobita. "Nusuknya pake sesuatu yang tajem ya, Un, biar kerasa."

"Contohnya?"

"Omongan tetangga."

"..."

Dan, Mila kemudian terlelap jauh lebih dalam.

Di sebelah Seruni, Gusti sudah mempersiapkan penampilannya dengan matang. Pomade berbasis minyak buatan dalam negeri membasahi rambutnya dengan sempurna, membuat rambutnya yang sejatinya ikal, menjadi klimis tak terkira. Harapannya, Seruni bakal terpana dan tentu saja jatuh cinta. Namun, gelagat tak beres dirasakan Gusti ketika dia melihat gadis itu mengendus-endus dengan ekspresi wajah seperti mencium aroma tak wajar.

"Ada apa, Ni?"

"Ini bau dari mana ya, Gus? Kayak campuran balsem dan minyak wangi kakek-kakek."

Gusti menelan ludah. Sampai akhirnya, mata Seruni sampai di rambut Gusti.

"Minyak rambut Gusti ya?"

"Ehm, I-ini... aku nyoba minyak rambutnya Herman, Ni. Bau ya? Parah memang si Herman. Padahal aku wis minta dia ganti merek loh," jawab Gusti gelagapan, mengabaikan kejujuran. "A-apa aku pindah aja, Ni?"

"Oh, enggak apa-apa. Gusti di sini aja."

Gusti bernapas lega. Walaupun realitasnya berantakan, setidaknya Seruni masih berkenan duduk di sebelahnya.

"Uni, kamu udah jalan-jalan ke mana aja di Tokyo?" tanya Gusti. Mengobrol adalah cara efektif mengalihkan bau tak sedap dari kepalanya.

"Banyak, Gus. Dari tempat-tempat yang mainstream, sampai yang bisa dikatogoriin sebagai hidden gem."

"Hidden gem?

"Ya, tempat-tempat menarik tapi belum banyak orang yang tau, atau mungkin enggak sadar aja kalau sebenarnya itu spot yang keren."

Cilok dan RamenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang