Bab 13: Lian Gimana?

15 4 0
                                    

("Lian Gimana? Sebenarnya enggak perlu semedi di lembah untuk menjawabnya, tapi Gusti selalu bingung.")


"Jadi dirimu wis merencanakan ini semua dari awal?" Bola mata Herman memelotot.

"Her, sebelum ta' lanjutin, bisa enggak bongkahan hasil bumi yang ada di mukamu dicopot dulu? Geli!"

"Bagus buat kulit wajah, Gus," Herman lalu mengutip satu penelitian yang menjelaskan mengapa ada potongan potongan melon, pisang, apel, dan kesemek di mukanya. "Terus piye, Gus?"

Setelah memergoki kegiatan rahasia Gusti dan Seruni tadi sore, Herman menuntut penjelasan. Dia menyeret Gusti ke kamarnya untuk bercerita. Sebetulnya, pria bertampang om-om senang itu sudah menaruh curiga. Gelang etnik yang sudah tidak dipakai Gusti, keinginannya tinggal di Noborito, dan matanya yang tak pernah lepas dari Seruni jadi semacam puzzle di otak Herman. Puncak kecurigaan muncul pas Gusti memaksanya duluan pulang dengan sogokan 1000 yen. Tentu saja dia bukan anak kemarin sore, mengambil 1000 yen dan diam-diam membuntuti Gusti adalah tindakan brilian. Gusti sendiri akhirnya rela bercerita, hitung-hitung melepas beban.

"Oke, aku memang mantau dia via sosmed dari dulu. Tapi, merencanakan ini semua dari awal kayaknya enggak tepat, Her. Aku cuma mengambil kesempatan yang terbuka, kesempatan yang dulu enggak pernah ta' dapetin."

"Aku masih belum bisa paham. Kok bisa ya dirimu stuck di satu cewek?" tanya Herman seraya mengambil potongan pisang dari jidat kemudian memakannya. "Maksudku gini, Gus. Ada 133 juta wanita di Indonesia. Ini data BPS* lho. Artinya banyak banget pilihane, Gus. Dan dirimu tetap terjebak di satu cewek?"

Menanggapi pertanyaan Herman, Gusti juga memakai data sensus BPS yang menunjukkan sex ratio penduduk Indonesia adalah 102. Artinya, tersedia 102 laki-laki untuk 100 wanita. Jadi wajar saja jika Gusti bertahan di satu wanita.

"Tapi yang jelas bukan itu alasanku, Her," sambung Gusti. "Aku seneng, sampai sekarang. Aku enggak bisa nyari kata yang tepat untuk gambarin apa yang terjadi."

"Lha terus, kenopo dirimu jatuh cinta sama dia?" cecar Herman seperti polisi yang menyusun berita acara pemeriksaan saksi.

"Hm... anaknya cakep, Her. Lucu."

"Hah, itu aja? Itu sih bukan jatuh cinta, Gus. Itu nafsu syation."

"Sembarangan! Cintaku murni dan suci."

"Pret. Ya kalo gitu harusnya ada pertimbangan personality dong, Gus?"

Gusti menjawab, "Anaknya juga baik. Ya, kan?"

"Ya sih, tapi baik itu sifat yang terlalu umum. Lagian kalau pertimbangan cantik dan baik terlalu dangkal, Gus. Koyok cah SMA wae**. Untuk ukuran seusia kita, harusnya ada pertimbangan lain yang lebih logis, yang bukan cuma perkara hati. "

"Misalnya?"

"Bapaknya kaya."

"Asem!"

"Sing penting ada alasan yang lebih dewasa gitu lho, Gus."

Ya, aku tau, Her. Selama ini aku cuma nyamuk yang hanya bisa ngelihat dia dari jauh. Aku emang enggak terlalu mengenal kepribadiannya. Tapi, ini kesempatanku untuk mengenalnya lebih jauh, kan?

Gusti hendak mengeluarkan suara hatinya itu, tetapi gagal setelah Herman melanjutkan kalimatnya.

"Tapi sak karepmulah. Terus, Mbak Lian piye?"

Gusti sudah menduga pertanyaan itu cepat atau lambat bakal keluar dari mulut Herman.

"Gimana apanya? Dia koncoku, toh?"

Mata Herman memicing. Mukanya jadi tambah menyebalkan sampai Gusti ingin menutupinya dengan karung semen. "Mbak Lian tahu enggak?"

"..."

Tak ada secuil kata pun keluar dari mulut Gusti.

"Enggak tahu kan? Ya wis, nanti biar aku yang cerita ke Mbak Lian."

"Hush, jangan dong!"

"Katanya konco? Kok panik?"

Gusti menggaruk rambut dengan kedua tangannya. Pusing. "Enggak sesederhana itu, Her. Aki enggak pengin nyakiti Lian." Dia lalu menceritakan pertanyaan yang dilontarkan Lian di bandara. Pertanyaan yang memberi validasi bahwa Lian berharap lebih padanya.

"Wah, butuh keberanian ekstra lho, Gus, nanya kayak gitu. Terus jawabanmu opo?"

"Ya, ta' bilang, aku bakal mikir."

Mulut Herman menganga, matanya mendelik, persis seperti orang yang baru tahu kalau penyu bisa hidup 100 tahun. Kemudian dengan lugas dia berkata, "Gus, itu artinya dirimu ngasih harapan ke dia. Ngerti ora? Kalau memang dirimu enggak tresno, harusnya bilang saat itu juga."

"Ngomong itu gampang, Her. Aku enggak tega bikin dia sedih."

"Jangan-jangan dirimu juga tresno?"

"..."

Terlalu lama menunggu Gusti yang diam, Herman menghela napas, menelan satu potongan melon, kemudian mengucap, "Kalau suatu saat ada masalah di antara kalian, aku enggak ikut-ikut lho. Ngeri!"

"Tapi kowe janji enggak bakal cerita tentang Lian ke Seruni, atau sebaliknya?"

"Pokoke aku tutup kuping, aku enggak mau ikut campur apa pun. Urip-uripmu!***" tandas Herman, lalu mengambil potongan kesemek dari pipinya. "Mau, Gus?"

"GAK!"

******


Catatan kaki:

*)Badan Pusat Statistik

**)Kayak anak SMA saja

***)Hidup-hidupmu

Cilok dan RamenWhere stories live. Discover now