Bab 15: Momiji November

16 3 0
                                    

(Momiji: bukan daun saja yang berubah warna di musim gugur, hati Gusti juga)


Empat orang warga Indonesia telah tiba dengan selamat di stasiun Takaosanguci setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam dari stasiun Shinjuku, stasiun terpadat di Tokyo. Suhu udara berada di angka lima derajat celcius, membuat Herman terpana dengan uap yang keluar dari mulutnya.

"Lihat, Gus. Aku seperti ngudud.*" Herman bangga.

"Apik, Her. Coba sekarang bikin mukamu meledak," respons Gusti malas.

"..."

Di seberang stasiun, barisan pohon ginkgo menyambut mereka dengan cantik. Daunnya kuning sempurna, berbentuk seperti sayap kupu-kupu yang sedari tadi bikin Gusti terpana. Keindahan yang makin sempurna kala mata Gusti menangkap sosok Seruni yang tampil jelita. Gadis itu tampak menggemaskan dengan kupluk putih melingkupi kepala dan menyisakan sedikit poni di dahi. Celana jeans, jaket rajut abu-abu, dan sepatu kets mungkin kombinasi wajar jika dipakai orang lain. Tapi di mata Gusti, itu kesempurnaan visual. Hatinya tambah berjaya ketika mendapati warna jaket Seruni serupa dengan miliknya.

"Kita enggak janjian kan, Ni?"

"Eh, iya kita samaan ya? Foto bareng yuk!" Seruni mengeluarkan tongsis dari tasnya.

Yes! Foto berdua!

"Kak Mila, Mas Herman. Ayuk foto," ajak Seruni.

Yaah.

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan sejauh 450 meter menuju pintu masuk Gunung Takao setelah mengambil beberapa foto di depan stasiun. Dua setengah bulan di Jepang, kaki-kaki Herman dan Gusti makin terbiasa. Kenyataan bahwa oksigen di negara itu begitu segar membuat adaptasi mereka berjalan tanpa kendala. Suasana jalan tidak begitu ramai, mungkin karena hari kerja. Pasangan manula menjadi mayoritas pengunjung dengan ransel yang tertambat di punggung. Hal itu seolah mengesahkan bahwa Jepang mengalami masalah komposisi populasi, di mana jumlah penduduk muda makin menyusut.

Gerbang masuk gunung Takao sudah terlihat. Jajaran pohon momiji menaungi taman kecil di dekat sana. Daunnya telah memerah, bentuknya seperti tangan terbuka, seperti melambai dan hendak mengajak manusia bermain. Seruni benar, tidak sahih berada di Jepang kalau belum bercengkrama dengan momiji.

Herman dan Gusti terpukau, menganga seperti orang dari pelosok yang baru tiba di kota.

"Bagus ya, Pak? Awas lalat masuk," komentar Mila sembari memotret mereka dengan kamera mirrorless yang baru dia beli.

"Keren kameranya, Mbak Mila. Baru ya?" puji Herman.

"Iya, Her. Bagus, fiturnya banyak. Bisa foto apa pun kecuali satu."

"Apa tuh, Mbak?"

"Fotosintesis."

"...."

Moncong kamera Mila berpindah ke Seruni yang tengah bercakap dengan Gusti. Gadis berkerudung itu merasa ada sesuatu di antara mereka. Dia lantas mengabadikan momen tersebut.

"Kalian cocok loh. Kayak sumpit kanan ama sumpit kiri," seloroh Mila sambil memamerkan hasil jepretannya.

"Kenapa harus sumpit sih, Kak?" sahut Seruni sambil menarik lengan jaket kuning Mila.

"Eh, itu pada ngantri apa?" tanya Gusti menunjuk titik kerumunan pengunjung.

"Jadi, ada tiga cara untuk naik ke hot spot Gunung Takao. Jalan kaki, naik cable car, ama naik chair lift. Nah, itu orang-orang pada antri cable car atau chair lift." Mila menjelaskan layaknya pemandu wisata.

Cilok dan RamenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang