Tiga belas

769 144 31
                                    

Sebenarnya Rumi mau saja jika disuruh istirahat selama dua hari atau tiga hari. Seminggu pun bakal Rumi jabanin.

Tapi tanggungannya itu yang tidak bisa di tinggal lama-lama.

Baru dua hari tidak terlihat di kampus, orang-orang BEM sudah menyebut namanya di grup. Niat mereka baik, menanyakan keberadaan dan keadaannya tapi endingnya tetap saja. Mengajak rapat karena dirinya yang masuk kepanitiaan seksi mempromosikan acara dan bertugas menjual risol mayo.

Katanya biar laris.

Mereka juga marah-marah saat Rumi baru membalas. Ya mau bagaimana lagi, rasanya ia masih merasa tidak enak badan sampai malas bahkan untuk membuka ponsel.

Panggilan dari ayah kandungnya saja ia abaikan apalagi dari barudak organisasi itu.

Tapi karena Rumi masih bertemu mereka setiap hari, ia berangkat ke sebuah cafe milik salah satu anak BEM untuk memenuhi panggilan rapat. Padahal ia sudah senang rapat di kampus saja pada sore hari, tapi ternyata diundur setelah maghrib di sebuah cafe yang pasti ia akan mengeluarkan uang untuk beli kopi.

Dengan meminjam motor PCX Keenan, Rumi mengendarainya dengan pelan tapi pasti. Biarlah telat, ia sungguh malas sekali tapi sebenarnya juga tidak enak jika harus berbaring terus.

Pinggangnya kadang masih terasa sakit. Apa karena dokter menusuknya sangat dekat dengan bekas lukanya makanya masih terasa sakit? Maksudnya... Jadi memunculkan kembali rasa sakit seperti awal mula ia mendapat luka itu?

Rumi terkekeh, mana ada. Lukanya sudah sembuh, kejadian itu sudah dua belas tahun yang lalu sepertinya. Sudah lama sekali, bahkan traumanya sudah sembuh apalagi cuma luka gores di pinggangnya itu.

Memang hawanya saja ia jadi lebih sering nyeri sendi, ia lelah sedikit rasanya sudah seperti sakit pinggang dan pegel linu. Untung ada counterpain.

"Sampe juga." Rumi melepas helm dan berjalan santai ke dalam cafe.

Se-santai outfit nya malam ini. Sendal jepit, celana pendek, kaos, dan jaket pemberian Galih.

Cuma rapat saja, dan pulangnya nanti ia berencana mampir ke toko untuk bertemu pak bos dan menemui Mbak Hani yang juga rewel sekali bertanya tentang keadaannya.

"Weh, Rum! Sini!"

Rumi mengangguk pada salah satu senior yang mengangkat tangan kepadanya. Sudah banyak sekali orang dan mungkin juga sudah hampir selesai mengingat ia telat satu jam.

"Macet apa lupa jalan, Rum? Lama banget sampenya," ucap salah satu teman kelas Rumi. Namanya Lionel.

Panggilannya Onel. Dari Madureh.

"Iya, Rum. Tinggal makan-makannya aja lu dateng." Satu lagi yang nyinyir itu seniornya. Dika namanya.

Orang-orang tertawa. Rumi berdecih, duduk santai di samping Onel. "Kan gue udah bilang di grup kalau gak enak badan, cuy. Kalian tetep maksa dateng, jadi pelan banget tadi gue nyetirnya," ucapnya kemudian meneguk kopi milik pemuda itu.

"Sakit tapi minum kopiku, Rum," decih Lionel.

Rumi terkekeh, kembali meletakkan kopi setelah menelan dua tegukan dan mengambil satu batang rokok, menyalakannya, lalu menghisapnya.

Rokok di atas meja ketika rapat memang sudah disediakan untuk umum.

"Sekali lagi maafin gue ya, guys. Gue juga udah bilang sama mas Haru untuk kali ini jangan jadiin gue panitia," ungkap Rumi serius setelah meniupkan asap rokoknya.

"Kenapa sih, Rum. Risol gue udah banyak yang pesen besok karena gue bilang kalau beli risol sepuluh biji dapet nomer lo," sahut salah satu gadis di ujung meja yang membawa laptop.

BUKAN TEMPAT PELARIAN Where stories live. Discover now