Sebelas

1K 159 29
                                    

Semuanya itu bermula ketika di pertengahan semester kelas lima sekolah dasar. Sebenarnya Galih enggan mengungkit masalah ini tapi pasti orang bertanya-tanya alasan di balik ia tidak ikut membantu Rumi saat collapse pertama kali, malah lari saat pak Jamal membuka kemeja yang membebat lutut Liam, dan sesak napas ketika praktikum anatomi karena jelas menggunakan cadaver.

Jadi saat itu ketika ia masih berumur sepuluh tahun, kelasnya mengadakan study tour ke salah satu tempat wisata dengan edukasi tumbuhan dan hewan. Di sana Galih belajar menanam padi, memberi makan hewan seperti ikan, kambing, sapi, kelinci, burung, dan masih banyak lagi. Harusnya hari itu menjadi hari yang menyenangkan, tapi tidak bagi Galih karena ketika semua anak didampingi oleh ayah atau ibunya, ia sendirian.

Mengetahui orang tuanya tidak bisa berpartisipasi, Galih malas sekali ikut, ia bahkan tantrum dengan mengurung diri di kamar mandi namun ayahnya yang keras menariknya keluar dan memaksa tetap ikut dengan dalih...

"Di sana nanti kamu itu belajar, Galih. Bukan liburan jadi kehadiran papa dan mama itu gak penting juga, kan. Yang penting itu kamu. Kamu mau besok gak ngerti sendiri disaat temen-temen mu udah dapet banyak ilmu. Kamu mau ketinggalan? Jadi anak bodoh nanti."

Memang seperti itu ayahnya, dan mau tidak mau Galih akhirnya berangkat meski dengan bibir maju beberapa senti dan alis menukik tajam. Ia sangat tidak menikmati padahal pulang dari tempat itu masih ke puncak. Galih merasa tidak ikhlas dan kata orang tidak baik melakukan suatu hal dengan hati yang setengah-setengah.

Pulangnya, mungkin sekitaran jam setengah enam sore, ketika teman-temannya tertidur di pelukan ibunya masing-masing karena lelah, Galih terjaga sendirian di belakang. Jadi ia menjadi salah satu saksi di mana ketika bus dengan tiga puluh tiga penumpang itu kehilangan kendali sesudah melewati tikungan tajam dan seperti ingin keluar jalur tapi tidak jadi kemudian berakhir banting stir ke kanan dan menabrak pembatas jalan dengan keras lalu bis berguling dan berakhir terbalik setelah terperosok lumayan jauh.

"Shit! Gak bisa gue..."

Galih segera menepikan mobilnya, ia dengan tergesa melepas jaket dan dua kancing kemejanya saat lehernya terasa tercekik. Ia membenamkan wajahnya di kemudi saat kepalanya terasa berputar.

Kejadian itu benar-benar tidak bisa terlupakan.

Tok tok tok!!!

"Bang Gal?? Lo kenapa berhenti di sini??"

"Bang Galih!"

Galih mengangkat kepalanya, menoleh untuk melihat siapa yang mengetuk-ngetuk kaca mobilnya dan ternyata Ares dan Dirga yang berboncengan memakai sepeda motor Liam. Ia segera membuka kaca mobil.

"Lo kenapa masih berhenti di sini, bang? Rumah udah depan mata tuh, ayo pulang," ucap Ares.

"Iya. Tadi tiba-tiba keinget ada yang ketinggalan di kampus makanya berhenti," jawab Galih dengan tersenyum canggung. "Kalian dari mana maghrib-magrib gini? Rumi udah di rumah?"

"Nah itu dia, bang. Rumi belum pulang, terus gua sama Dirga niat nyusul ke puskesmas tapi dia gak ada di sana. Mau tanya pegawai sama dokternya udah beda, mereka gak tau," ungkap Ares dengan menggebu-gebu.

Galih memiringkan kepalanya, berpikir keras. Tidak mungkin Rumi bekerja di mart, kan?

"Pak Jamal? Kalian gak ke rumahnya pak Jamal?"

Dirga mengangguk. "Udah. Pak Jamal gak ada, mbak Lastri juga. Rumahnya gelap, apoteknya tutup."

"Mana Rumi gak bawa hp, pak Jamal ditelpon juga gak aktif sama Keenan. Mereka kemana, ya?" Ares berujar resah.

BUKAN TEMPAT PELARIAN (Slow Up)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt