Dua belas

964 165 73
                                    

Rumi berbaring santai di kasurnya sendirian, setahunya ia hanya berada di rumah bersama Leo. Tadi setelah sarapan dengan nasi kuning, Rumi pamit undur diri lebih dahulu karena tidak kuat duduk terlalu lama dan ia buat untuk tidur.

Rasanya nyeri tetapi sekarang sudah tidak karena Rumi langsung meminum obatnya saat itu juga.

Bahkan sari kurma dan jus jambu dari Lastri sudah ia minum, bagaimanapun Rumi sangat ingin segera sembuh dan kerja lagi meskipun Liam sudah mengizinkan ke bos Rumi lewat chat bahwa ia sakit dan butuh libur selama tiga hari.

Sembari menatap kosong pada ponselnya, bibir Rumi komat-kamit menghitung pengeluaran selama berada di rumah sakit. Pak Jamal tidak memberitahu berapa totalnya tetapi Rumi mencari tahu sendiri.

Selama semalam di ruang VIP, habis berkantong-kantong darah merah dan putih, cek darah di lab dua kali, biopsi, obat, tanpa dicover BPJS sudah habis 7 juta lebih.

Rumi geleng-geleng kepala, seketika bersyukur ia membuka kos dan Leonardo Oweis datang di rumahnya. Karena ada dia, saldo Rumi mencapai lima puluh juta lebih karena ibunya yang melunasi selama empat tahun penuh dan listrik selama empat tahun juga.

Jika tidak, uang Rumi di rekening akan langsung habis tidak bersisa dan ia akan makan dengan mencabut singkong di belakang rumah.

Tabungannya tidak seberapa, uang yang ia dapatkan dari menjadi kasir adalah dua juta lima ratus, tapi sudah berkurang untuk makannya sehari-hari, bayar listrik, air, obat kalau ia tiba-tiba sakit, bensin jika ia meminjam motor si Mbah untuk kuliah atau ojek, dan... Rokok.

Jika kalian bertanya mengapa Rumi bekerja sekeras ini ya karena jika ia tidak bekerja akan makan dengan apa? Rumi memang mempunyai suatu tujuan mengapa ia juga hemat, tapi tetap dirinya yang ia utamakan.

Dan untungnya ada Leo, ia jadi bisa membayar ke pak Jamal dan masih ada sisa.

Rumi harus segera menyisihkan uang jatah bayar listrik empat tahun ke depan agar tidak ia tarik jika ada apa-apa lagi.

"Anjir, jadi tiga puluh juta."

Rumi sampai terduduk. Tangannya langsung memegangi kepala dan mengurutnya. Ia seketika dilanda bingung. Buat sewa pengacara juga habis nanti, itu belum belanja.

"Bodo ah, duit emang bikin pusing," keluh Rumi lalu turun dari kasur dan keluar kamar. "Tapi kalau gak punya duit juga lebih pusing. Aduh, Ibu... Sabar, ya."

Lebih baik Rumi mengembalikan jam seharga tujuh puluh juta milik Leo sebelum ia tiba-tiba kerasukan setan membuatnya tidak sadar pergi jual beli jam tangan.

"Eh, Le. Lagi buat apa kamu?"

Ternyata yang dicari sedang ada di dapur, tampak sibuk sekali dan sangat terkejut mendengar suaranya.

"Lho, mas Rum. Udah bangun? Gue lagi bikin bubur buat mas Rumi makan siang terus minum obat," jawab Leo santai. "Tapi kayaknya gak layak makan, cair gimana gitu teksturnya. Gue beliin makanan di luar aja, mas."

Rumi tertawa, tidak menyangka Leo sampai melakukan ini. Ia menghampiri Leo dan mengaduk bubur buatan Leo yang masih berada di panci kecil. Cair sekali.

"Iya, agak cair. Tapi malah enak buat orang sakit kayak gue langsung telen," ujar Rumi kemudian mencicipinya sesendok. "Enak kok, Le. Enak banget."

Mata Leo langsung berbinar, ia langsung mengambil mangkuk dan memindahkan bubur lantas menyuruh Rumi duduk. Ini baru pertama kali ia menyajikan makanan untuk orang lain, ternyata bahagia sekali di hati saat orang menyukai makanan kita.

"Obatnya di kamar? Gue ambilin ya, bang. Ini udah siang banget, lo gak boleh telat minum obat."

Leo langsung berlari setelah mengatakan itu, Rumi lagi-lagi tertawa kemudian tersenyum tipis melihat semangkuk bubur panas di depannya. Kata ibu Leo, anaknya itu tidak bisa apa-apa selain menghamburkan uang, selalu membuat masalah di rumah yang menyulitkan para pembantu, pemalas, dan susah diberitahu.

BUKAN TEMPAT PELARIAN (Slow Up)Where stories live. Discover now