Mendadak Nembak

18 0 0
                                    

Sepulang bekerja, Bunga tak menyangka kalau Ruli akan mengikuti dan mengklaksonnya ketika pria itu melihatnya.

Bunga yang sedang berjalan untuk mencari angkot di tempat yang sudah sedikit lebih sepi dari lalu lalang para pegawai pabrik, tak pelak sempat terjengit kaget sebelum akhirnya berhenti dan menolehnya.

"Ai, Bunga. Kok jalan sendirian aja? Kau nggak bawa kendaraan kah?" Ruli setengah berteriak dari celah kaca jendela yang terbuka sambil menghentikan mobilnya. 

Janda ayu itu menyelipkan anak rambut ke balik telinga, menggeleng sembari tersenyum malu-malu kucing khas caranya untuk menggoda. "Saya nggak punya kendaraan, Bang. Jadi mau cari angkot."

"Susahlah angkot jam segini. Ayo, naik. Kuantar kau pulang!"

Pucuk dicinta ulam pun tiba.

Bunga tak menyiakan kesempatan dengan langsung mengangguk dan masuk ke dalam sedan hitam mengilat itu usai memastikan tak ada yang melihat ke arahnya.

"Apa nggak pa-pa kalau saya numpang begini, Bang?" Bunga bertanya basa-basi dalam perjalanan mereka, yang tentu saja berhasil menggelitik benak Ruli untuk tertawa. 

"Memangnya salah kalau aku ngasih tumpangan kau? Jelas nggak pa-pa lah."

"Saya takutnya nanti ada yang marah di rumah Abang."

"Istriku maksudnya?"

Bunga mengangguk, kembali merapikan anak rambutnya ke belakang telinga meski rambutnya tidak berantakan. 

"Dia di rumah. Nggak ada urusan lah sama dia, mau aku kasih tumpangan ke siapa pun juga. Toh mobil ini mobil yang kubeli hasil jerih payahku sendiri." Ruli menjawab sambil memperhatikan jalanan, kemudian kembali menoleh Bunga yang ... aduhai, entah mengapa sungguh kian dipandang, menjadi kian menggoda saja di matanya untuk bisa segera dimiliki. 

"Ai, Bunga. Ngomong-ngomong, senang sekali aku dengar kau panggil aku Abang. Berasa usia kita ini nggak terpaut terlalu jauh. Jadi cepet akrab kesannya kita."

"Syukurlah kalau Abang nggak keberatan. Tapi soal dibilang cepet akrab, memang sebenarnya boleh ya, saya akrab gini sama Abang?" Bunga mengerling sipu. 

"Lha, memangnya kenapa nggak boleh?" Ruli keberatan dengan pertanyaan Bunga barusan. "Aku ini memang ingin akrab sama kau. Ya tentu saja boleh lah kita akrab. Memang harusnya begitu."

Bunga kemudian menatap Ruli lekat dengan senyum yang kembali merekah lebar, "Makasih ya, Bang. Saya sebenarnya agak takut saja kalau ada yang nggak suka melihat keakraban kita. Tapi karena Abang sudah baik mau nganterin saya pulang, saya akan coba tutup telinga deh kalau nanti misal ada yang komen nggak suka."

"Nah, gitu dong! Nggak usah kebanyakan pikiran kau ini. Biarin aja kalau nanti-nanti ada yang komen nyinyir. Toh kita nggak ikut makan sama mereka ini." 

Sekali lagi Bunga mengangguk. Lalu kembali bertanya, "Tapi kalau boleh saya tahu, ada maksud apa ya, Abang pengen akrab sama saya? Soalnya seperti yang Abang tahu, saya ini janda. Lebih rentan jadi bahan gunjingan daripada mereka yang masih perawan kalau akrab sama pria. Apalagi, pria yang sudah beristri." 

Bunga ingin memancing tanggapan Ruli, karena tak mau kalau nanti sampai menyiakan waktu bila ternyata tujuan Ruli tak sesuai ekspektasi. 

"Ah, soal itu...." Ruli tiba-tiba menggaruk tengkuk salah tingkah. "Sebenarnya sih, Abang sudah langsung jatuh hati sama kau sejak pertama kita bertemu tadi. Tapi, Abang segan mengutarakan karena khawatir kalau kau akan mikir, Abang ini laki-laki hidung belang yang gampang tergoda wanita. Padahal, baru kali ini Abang begini, lho."

Senyum Bunga semakin lebar. Dia sudah bisa menangkap maksudnya. 

"Ah, Abang ini. Memang terlalu cepat lah mengatakan itu. Kita kan baru kenal, Bang."

"Ya, tapi kan yang namanya perasaan itu nggak bisa dikontrol. Siapa pun bisa jatuh cinta pada pandangan pertama, apalagi kalau jandanya semanis dan secantik kau ini."

"Dih, Abang. Bikin saya malu aja."

"Kok malu? Apa kita langsung jadian aja biar nggak malu-malu?"

"Jangan lah, Bang. Abang kan sudah beristri." Bunga berkelit dengan wajah dibuat pura-pura kecewa. "Kalau Abang duda sih, saya nggak masalah. Tapi, kan...."

"Alah, gampang lah soal itu. Kan aku bisa menikah sampai empat kali."

"Maksudnya, Abang mau jadiin saya istri kedua begitu?"

TERSESAT DALAM PALUNG DENDAM Where stories live. Discover now