Bagian 8: Topi rotan dan sepotong roti

11 5 23
                                    

“Ada yang bisa kami bantu?” ia bertanya setenang biasanya.

Para remaja saling bersitatap. Kembali menatap pria itu. “Tidak. Kami.. hanya ingin melihat-lihat, tetapi tidak jadi.”

Sebelah alis pria dua puluhan tahun itu terangkat. Menautkan dahi, curiga. “Kalian tidak datang untuk mencuri kan? Aku bisa saja memanggil para warga untuk menghajar kalian jika kalian tidak keluar dari tokoku sekarang juga.”

Mereka berbisik-bisik, panik. Menggelengkan kepala. Membalikkan badan, keluar dari toko tanpa mengatakan apapun lagi bahkan untuk meminta maaf atau sekedar salam.

Pria itu mendengus. Berdecak pinggang. “Dasar anak-anak itu!” ia kembali menyadari kehadiran kakek dibelakang.

“Kakek, kau baik-baik saja? Tidak baik menjaga toko sendirian. Mereka bisa datang kapan saja,” pria itu bertanya khawatir.

Kakek bertongkat menggenggam pelan. Gesturnya bergerak sehalus kapas terjatuh. Ia menurunkan tangan pria itu dari pundaknya. Memutar kepala ke arah pintu.

“Nak.. keluarlah,” ia berkata pelan.

Pintu kayu itu didorong dari dalam. Perlahan, Lucanne memunculkan setengah badannya di balik pintu.

“Mereka sudah pergi.”

Lucanne menampakkan tubuh sepenuhnya. “Mereka seniormu? Apa mereka menganggumu?” pria itu bertanya.

Dia menggeleng singkat sebagai jawaban. Melangkah ke hadapan si kakek. Ia menunjukan sebelah tangannya yang sejak tadi tersembunyi dibalik punggung.

Ia menyodorkan dompet koin berwarna merah maroon dengan hiasan emas.

Bola mata kedua pria dihadapannya melebar. Mereka saling tatap. “Mereka, mencuri ini darimu.” kata Lucanne.

Si kakek memajukan tangan. Menerima benda itu. “Mau menemukannya?” ia balas mengangguk.

Si kakek tersenyum, bangga. Ia membuka dompet koinnya, mengecek seluruh isi didalam. Uangnya tinggal setengah. Pria itu ikut melihat, praktis menatap Lucanne bertanya. Ia mengira anak itu yang mencuri uangnya.

Dia menatap Lucanne tidak suka, kening berkerut dalam. Kakek menyentuh bahu pria itu, menenangkan. “Setidaknya masih tersisa.”

“Tetapi—”

Tidak menanggapi pria itu. Kakek tersenyum pada Lucanne. “Terima kasih, sudah mengembalikannya.”

Anak laki-laki itu mengangguk singkat. Lenggang. Kakek tergumam, merogok dompetnya, mengeluarkan koin emas, menyodorkan pada Lucanne.

“Terimalah.. sebagai tanda terima kasihku,”

Pria itu melotot. Ia menatap kakek tidak terima tetapi kakek tidak mendapatkan mengumbris. Lucanne menatap koin emas dan wajah sang kakek, gantian. Ia menggeleng kecil. Ia tidak melakukannya demi sepeser uang. Enggan menerimanya.

Tidak mendapatkan respon anak kecil, si kakek memajukan tangan. Mendesak. “Aku memaksa,”

“Tidak perlu.” Lucanne menjawab singkat.

“Ambillah,” Si kakek tetap mendesak. Memajukan koin emas dalan genggaman tangan.

Lucanne mengalihkan pandangan ke samping. Menangkap barang-barang didalam toko. Semua antik dan indah, ada berabotan kuno, buku-buku sejarah lama, dan beragam benda-benda lainnya. Maniaknya sampai di rak tak jauh darinya. Isinya adalah barang-barang wanita.

“Aku ingin itu!” telunjuk dia menunjuk kearah sebuah topi rotan seukuran kepala anak-anak.

Kedua orang dihadapan mengalihkannya pandangan bersama kearah tunjuknya. Topi rotan berwarna coklat muda dengan hiasan pita coklat tua.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Between Him (2) [HIATUS SEMENTARA]Where stories live. Discover now