19. Hujan di Malam Hari

40 5 0
                                    


Haiii semuanya!!!

Aku update nih. Siapa yang kangen?

Jangan lupa vote dan komen!

Aku sangat mengharap vote dan komen dari kalian. Tolong jangan pelit komen dong!

Happy reading....

🍓🍓🍓



Dingin, kata yang tepat untuk menggambarkan cuaca suasana malam ini. Sasha menutup pintu jendelanya yang semula terbuka lebar. Aroma petrichor hujan masih senantiasa menyengat hidungnya. Setidaknya aroma itu bisa menjadi terapi dirinya. Suasana hati Sasha mendung sama seperti malam ini. Semenjak pulang dari acaranya Renza dan teman-temannya di BEM, hati Sasha kacau. Ini mungkin bukan kali pertamanya dia mendapat hujatan. Namun, tetap saja Sasha tidak suka dibanding-bandingkan dengan Lia. Apalagi yang membanding-bandingkannya adalah adik tingkat yang masih bau kencur. Gara-gara mood-nya sangat buruk, Sasha izin tidak mengajar bimbel hari ini.

"Sekolah tinggi, tapi mulutnya kayak nggak pernah sekolah," gumamnya sambil melempar pensilnya sembarangan ke lantai. Mau belajar pun ternyata tidak bisa fokus.

Kadang Sasha berpikir kenapa hidupnya tidak pernah beruntung seperti remaja pada umumnya. Terlebih setelah ayahnya pergi untuk selamanya. Masalah demi masalah seolah tak pernah lelah mendatangi. Sasha rindu masa kecilnya. Rindu menjadi anak kecil tanpa beban pikiran besok mau makan pakai uang dari mana. Sasha lelah dihina sebagai chindo mlarat dan sebagainya. Dia juga tidak ingin seperti ini. Tidak ada yang mau menjadi anak dari ibu yang menipu kakeknya dan membawa kabur sebagian besar harta peninggalan ayahnya. Jika Sasha boleh memilih, dia ingin lahir di keluarga yang baik-baik saja.

"Bayarin kuliah gue aja enggak. Bisa-bisanya banding-bandingin gue sama Lia." Lagi-lagi Sasha bermonolog.

Sasha bangkit dari meja belajarnya. Tubuhnya dibanting ke kasur. Percuma dia membuka buku kalau tidak bisa konsentrasi belajar. Matanya kini memandang lurus ke langit-langit putih kamarnya. Tiba-tiba bayangan Renza berkelebat di pikirannya.

"Apa seharusnya gue nggak boleh jatuh cinta ke Renza? Apa gue emang sehina itu buat Renza?"

Rasa galau itu belum usai. Renza terlalu lekat di pikirannya. Bayangan wajah Renza sulit dihapuskan dari pikirannya. Sebegitu kuat Renza menghipnotis Sasha. Namun, di sisi lain Sasha ingin menangis setiap kali ingat Renza. Sasha takut akan berpisah dengan Renza suatu hari nanti. Apalagi semesta sepertinya tidak mendukung hubungan keduanya. Hubungan mereka baru berjalan sebentar saja sudah banyak kerikil yang menjadi penghalang. Sasha benar-benar takut jika takdir tidak berpihak pada hubungannya dengan Renza.

Jujur saja Sasha sering berpura-pura kuat semenjak ditinggal ayah dan ibunya. Sasha selalu mensugesti dirinya sendiri untuk tidak menyerah jika ada masalah. Sasha selalu berusaha membendung air matanya setiap ada sesuatu yang menyakitinya. Sasha selalu berusaha menguatkan dirinya sendiri. Dia tidak ingin menjadi gila oleh semua ujian hidupnya. Namun, kadang ada saatnya dia perlu menangis. Terutama saat stress menghadapi perkuliahan di FK yang sangat berat. Kadang dia juga diam-diam menangis usai meminta uang ke Yeye untuk membayar biaya kuliah yang terbilang banyak. Gajinya dari kerja sambilan sering kurang untuk memenuhi kebutuhan kuliahnya. Kuliah di FK bukan hanya susah, tapi juga mahal. Baiklah, untuk UKT masih terbantu sebagian dari beasiswa. Tapi, biaya beli alat-alat medis, buku-buku setebal bantal dan lainnya juga tidak murah.

Lamunan Sasha tiba-tiba terdistraksi oleh suara getaran ponselnya berkali-kali. Ponsel itu kebetulan tergeletak tepat di sampingnya. Ada telepon dari Renza. Akhirnya pemuda itu meneleponnya. Mungkin karena sedari tadi pesannya tidak dibalas satu pun oleh Sasha. Makanya nekat menelepon Sasha.

Time of Our LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang