22. Satu Bulan Pertama

900 196 12
                                    

Meski jarak membentang kurang lebih dua ratus lima puluhan kilometer di antara mereka, namun Sabria sama sekali tidak merasa jika mereka sedang berjauhan. Setiap hari Senin dan Jumat, ada kiriman buket bunga untuknya, yang Nayaka pesan lewat toko bunga terdekat lalu dikirimkan dengan ojek daring. Setiap hari itu juga, Sabria tak lepas dari suit-suitan teman sekantornya, sebab selama  berpacaran dengan Nayaka-lah, Sabria rutin mendapat kiriman bunga.

"Jangan lama-lama undangannya lho, Mbak Sasa," ledekan yang datang padanya kini tidak bisa dibendung lagi. Bahkan satpam Glamela pun ikut-ikutan menggoda Sabria saat dia pulang kantor sore ini. Agak aneh mengingat biasanya Pak Rahmat tidak pernah se-rempong ini mengurusi kehidupan pribadi orang lain. Jawabannya Sabria temukan saat ia mengalihkan pandangan ke arah tempat parkir mobil, kemudian mendapati Nayaka berdiri di sana sambil menggenggam sebuket bunga mawar.

Segala rasa letih dan jenuh yang Sabria alami seminggu belakangan, seketika lenyap saat melihat senyum Nayaka yang terkembang. Ia menghambur mendekati sang kekasih kemudian menerima bunga darinya. Mereka berdua sepakat untuk bertemu sebulan sekali sejak resmi jadian. Entah Nayaka yang ke Surabaya, atau Sabria yang ke Solo.

Namun, kali ini mereka akan ke Solo, sebab maminya Nayaka tiap hari merongrong anak bujang beliau untuk membawa Sabria ke rumah. Sabria pikir juga permintaan tersebut cukup adil, sebab ibunya sudah bertemu Nayaka beberapa kali, sedangkan ia belum pernah berkenalan dengan Mami Nayaka secara langsung. Rencananya Sabria akan naik kereta Bima pukul setengah delapan malam, yang akan tiba di Solo setengah sebelas malam. Namun, Nayaka yang tukang khawatir tidak rela melepas Sabria pergi sendirian malam-malam, itu sebabnya ia menjemput Sabria naik Sancaka siang tadi jam dua belas lewat dua puluh menit, dan tiba di Surabaya pukul setengah empat sore. Kehadiran Nayaka yang rela menyeberang lintas provinsi demi bertemu dengannya, membuat keinginan Sabria untuk menikah dengannya semakin bulat.

"Capek, ya?" tanya Nayaka. Sabria menghidu bunganya yang menguarkan aroma wangi, kemudian menggeleng.

"Capeknya udah hilang barusan. Makasih, ya."

"Karena dikasih bunga?"

Sabria tertawa, "Karena ada kamu."

"Cie cie Mbak Sasa," seru rekan kerja Sabria yang melintas di belakang mereka dengan berboncengan motor. "Mas ganteng, Mbak Sasa-nya jangan dibikin sedih yaaa..."

"Okeee! Tenang aja!" balas Nayaka sambil tertawa. "Temen-temen kamu lucu banget."

Sabria mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam tas jinjing lalu mengulurkan pada Nayaka. "Mau sopirin aku?"

"Dengan senang hati."

Nayaka membuka kunci dan pintu penumpang depan, kemudian membiarkan Sabria masuk terlebih dahulu. Ia mengitari kap mobil, kemudian masuk di kursi pengemudi. Untung saja dia cukup ahli mengemudi mobil manual meski mobil keluarganya yang sekarang sudah automatik. Mereka berkendara menuju rumah Sabria dengan sedikit macet, namun tidak satupun dari mereka yang mengeluh.

"Mami aku bilang, aku sama Yasa disuruh mengungsi ke rumah keluarga besarnya di Bulakrejo, jadi Mbak Sasa nanti malam bisa tidur di kamarku. Kalau Mbak Sasa yang tinggal di sana nanti jadi canggung karena kan belum kenal sama keluarganya Mami yang ngurus rumah itu sekarang," tutur Nayaka membuka obrolan.

"Padahal aku bisa nginep di hotel aja kayak bulan lalu pas aku pertama kali dateng ke Solo," ucap Sabria. Nayaka menggeleng cepat.

"Mami aku orangnya overprotektif sama anak perempuan, apa lagi yang masih gadis, takut Mbak Sasa nanti ada apa-apa kalau di hotel sendiri. Nggak usah khawatir nggak bisa akrab sama mamiku, kok. Mamiku kayaknya lebih suka anak perempuan dari pada laki-laki, soalnya anak beliau kan tiga cowok dan satu cewek, jadi Mbak Sasa pasti bakal dimanja-manja sama Mami."

Jodoh di Tangan Bu RTWhere stories live. Discover now