21. Taman Bunga Mami

821 207 20
                                    

Saat Yaka tiba ke rumahnya Selasa siang ini, sebab ia berangkat dari Surabaya sehabis Subuh untuk mengejar agar cuaca tidak terlalu panas saat di perjalanan, ia langsung disambut oleh sang mami dengan rentetan pertanyaan segera setelah ia memarkirkan mobil di teras depan.

“Gimana? Kapan kamu mau ngelamar pacarmu? Kata Mbak Aminah, anaknya cantik banget ya? Kok bisa dia mau sama kamu? Kamu nggak pakai jampi-jampi, kan? Rugi kamu salat lima waktu kalau pakai ilmu hitam buat pelet anak gadis oran—”

“Nih, dari calon menantu Mami.”

Yaka menyodorkan sekotak kue yang telah disiapkan Sasa sejak semalam untuk oleh-oleh keluarganya di Solo pada maminya dengan sedikit gusar. Kemudian ia masuk ke dalam rumah, lalu berjalan terus sampai kamarnya di lantai dua, sementara sang mami masih terus mengekor. Oleh-oleh dari Mbak Sasa masih beliau bawa ke manapun beliau pergi mengikuti Yaka.

“Kapan Mami mau dikenalkan ke pacarmu? Kalian seagama, kan? Kamu harus mulai nabung lho buat resepsi sama unduh mantu, jangan sampai ngerepotin pihak mempelai perempuan, mana Mbak Aminah cerita kalau dia nggak punya bapak.”

“Mami,” keluh Yaka saat dia sudah berada di depan pintunya. Rasa letih karena mengemudi seorang diri selama lebih dari lima jam seorang diri, rupanya cukup menguras tenaga dan kesabaran Yaka. “Emangnya seburuk apa aku di mata Mami sampai Mami ngomong gitu soal aku? Aku baru pacaran sama dia, kenalannya lewat logo toko kue di kardus yang Bude Aminah kasih waktu lebaran kemarin. Kue-kue buatannya enak-enak semua, mbaknya juga ramah dan lembut banget. Ternyata setelah aku tahu foto mbaknya yang cantik, aku jadi jatuh hati terus aku menyatakan rasa tertarik. Mbaknya bilang dia nggak mau pacaran lama-lama, aku sanggupi. Mungkin karena aku satu-satunya orang yang serius mendekati dia, jadi dia luluh dan mau sana aku. 

“Mami bilang Mbak Sasa cantik banget? Ya memang. Tapi, aku nggak jelek-jelek amat, kan, meski agak kucel dikit. Masa iya sih, Mami tega nuduh aku pakai dukun buat dapetin Mbak Sasa? Memangnya aku nggak boleh punya istri cantik?”

“Lho, bukan gitu, tapi memangnya dia percaya sama kamu? Sini, Mami mau minta nomor teleponnya biar Mami kasih tahu kamu kayak gimana anaknya.”

“Mbak Sasa udah selangkah lebih maju dari Mami,” bela Yaka. Dari dalam ranselnya, ia mengeluarkan sebendel kertas yang Sasa berikan tiga hari lalu. “Aku disuruh ngisi pertanyaan-pertanyaan ini pas kami memutuskan untuk pacaran. Dia bukan perempuan sembarangan, aku pun nggak mau main-main sama Mbak Sasa.”

Mami menerima kertas dari Yaka kemudian memindai isi halaman pertama. Beliau mengangguk-anggukkan kepala seiring pergerakan bola matanya dari atas ke bawah.

"Oh, ya bagus ini. Kamu harus tunjukkan catatan perbankanmu ke calon pasangan. Kamu nggak diam-diam punya pinjol di belakang Mami, kan?"

"Enggak, Mi, Ya Allah, curigaan amat. Ngapain aku pinjol segala, gajiku aja lebih besar dari limit pinjolnya," seru Yaka sedikit putus asa, sebab interogasi dari maminya jauh lebih menekan mental dan menyeramkan ketimbang saat Sasa yang bertanya.

"Itu PS 5 yang sering dipake Yasa mainan, kamu udah lunas nyicilnya belum?"

"Aku beli kontan Mi, orang cuma tujuh jutaan aja. Aku bukan Yasa yang pernah ketahuan Mami punya cicilan iMac. Aku nggak pernah nyicil barang kecuali dulu waktu mau bikin PC rakitan, aku memang beli perangkatnya satu-satu, nggak langsung beli semua."

Yaka menguap di hadapan maminya sebab dia tidak bisa menahan-nahan lagi rasa kantuk. Segala capek perlahan mulai menggelayutinya sehingga yang ia butuhkan sekarang hanya berbaring di ranjangnya yang empuk lalu tidur.  Melihat gerak-gerik Yaka, tampaknya Mami melunak juga. Seraya mengembalikan daftar periksa dari Sasa, Mami menghardik Yaka untuk segera istirahat.

Jodoh di Tangan Bu RTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang