18. Interogasi Pranikah

878 234 49
                                    

Sabria bisa merasakan betapa cemasnya Nayaka ketika berhadapan dengan dua orang ibu-ibu sekaligus; ibunya dan Bu Aminah. Oleh karena itu, ketika ia menunjukkan letak rice cooker di dapur, diam-diam Sabria meremas jemari Nayaka pelan.

"Nggak perlu takut," bisiknya. "Bu Aminah nggak galak, kok. Ibuku juga nggak pernah galak-galak ke mantan aku, bahkan yang toksik sekalipun."

"Kalau bude aku nggak galak ke Mbak Sasa, good for you," balas Nayaka, turut berbisik tepat di telinga Sabria, sebab ia sejengkal lebih tinggi dari Sabria. "But she disciplines her nephews harder than the US Army."

"Jadi karena itu kamu tumbuh jadi green flag? Then I should thanked her for her service."

"I'm not just a green flag," gumam Nayaka lirih. "I'm the whole forest."

"Of course you are! Kalau enggak, aku nggak mau sama kamu." Nayaka mengambil satu setengah centong nasi ke piringnya-cukup sedikit untuk porsi makan laki-laki dibandingkan adiknya Sandy, apa lagi dia habis menyetir jauh lebih dari 250 kilometer untuk mengantarnya pulang. "Makan yang banyak biar nggak sakit."

"Kalau kebanyakan nanti aku ngantuk," balas Nayaka. Dari arah ruang tamu, terdengar obrolan antara Bu Aminah dan ibunya yang cukup bising.

"Ada adiknya Bu, Ilyasa. Lebih muda dari Nayaka."

Nayaka mengambil sesendok sayur sup buatan Sabria dan sedikit tumis ayam jamur yang Sabria masak bersamaan pada dua tungku kompor. Geram melihat porsi makan Nayaka, Sabria menambahkan lauk ke piringnya hingga piring tersebut tampak penuh.

"Kebanyakan, Mbak," keluh Nayaka.

"Tapi bisa ngabisin, kan?"

"Bisa sih... Kalau Mbak Sasa yang masak, aku pasti habisin kok, soalnya masakan Mbak Sasa enak."

"Ya udah, kalau gitu."

"Mas Yaka!" panggil Bu Aminah nyaring. "Lama amat ngambil makan aja. Kowe jangan ngapa-ngapain Mbak Sasa lho di belakang."

"Mboten, Bude," sahut Nayaka. "Mboten wantun, kulo."

Nayaka membawa piring makannya ke ruang tamu, padahal ada meja makan dan kursi di dapur. Sabria diam-diam mendengkus geli melihat betapa patuh Nayaka pada budenya. Mereka berdua berjalan kembali menuju ruang tamu di mana Bu Aminah masih membicarakan keluarga Nayaka dengan berapi-api.

"Yasa itu lebih ngganteng, Bu. Putih, nggak hitam kayak Mas Yaka. Kalau soal umur, dia lebih muda dari Mbak Sasa, jadi saya nggak ngira kalau malah Mas Yaka yang bisa macari Mbak Sasa. Memangnya Mbak Sasa sukanya sama yang lebih tua?"

Dengan kepala tertunduk dan fokus pada makanannya, Nayaka membela diri, "Kok Bude gitu sama aku?"

Mendengar keponakannya berani angkat suara, Bu Aminah menoleh cepat ke arah Nayaka. Kelopak mata beliau yang dikelilingi garis celak tebal membelalak melihat isi piring Nayaka. Kini Sabria mengerti mengapa Nayaka ketakutan melihat budenya saat marah. Beliau mengingatkan Sabria akan aktris cantik bintang film horor yang hobi makan kembang itu, dengan riasan mata yang tebal.

"Heh, kowe ambil lauk banyak banget, kok nggak sopan!" hardik Bu Aminah.

"Jangan marah-marah sama Mas Yaka, Bu RT," sela Sabria untuk membantu Nayaka yang terlihat seperti hampir menangis. "Saya yang ngambilin lauk buat Mas Yaka, kok."

Jodoh di Tangan Bu RTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang