4. Deeptalk with Papa Dian

52 28 120
                                    

Hai...
Vi balik lagi 🐣
Jangan lupa share cerita ini ke teman, doi, tetangga, kemana aja deh pokoknya (author maksa 😏)
Engga deng, bercanda ✌️😆
Happy reading, guys 💚





























Keadaan sekolah yang masih cukup sepi, dimanfaatkan gadis itu untuk mendatangi kelas yang berada tepat di samping kelasnya, yaitu kelas XII IPA 1.

Sesampainya di kelas yang ia tuju, gadis itu melongok kan kepalanya melalui celah pintu, dan melihat jika apa yang ia tuju sudah tiba di sekolah, sehingga mata gadis itu sontak berbinar.

“Pagi Vian,” sapa gadis itu ceria, sesampainya ia di meja yang ditempati pria itu.

Mendengar sapaan yang dilayangkan untuknya, pria itu mengalihkan pandangannya dari benda pipih di genggamannya. Melihat siapa yang memanggil dirinya, pria itu hanya mengangkat sebelah alisnya.

“Nih, gue bawain sarapan untuk lo,” jelas gadis itu akan kehadirannya sepagi ini, di hadapan Gavian. Sembari meletakkan kotak bekal yang sejak tadi ia tenteng.

“Gue udah sarapan, makasih,” gumam Gavian kembari menekuri ponselnya.

“Kalau gitu lo bisa makan setelah istirahat, Vian,” usul gadis itu, masih belum menyerah akan penolakan pria itu.

“Terima aja lah Gav,” saut Narendra, yang baru saja datang.

Melihat tidak ada respon dari Gavian, Narendra hanya menghela napas. Lalu meletakkan atensinya pada Milea.

“Lebih baik bawa balik aja, Le. Nanti jam istirahat lo bawa aja ke kantin,” perintah Narendra, yang dituruti gadis itu.

“Oke Naren. Kalau gitu gue balik ke kelas sekarang. See u guys,” pamit gadis itu, melambai-lambaikan tangannya.

***

Sesuai perkataan Narendra pagi tadi, kini gadis dengan rambut model bob itu tengah mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin, untuk mencari keberadaan Gavian. Melihat presensi pria itu, Milea sontak mendengus karena melihat keberadaan seseorang yang ia rasa mengganggu penglihatannya.

“Vian, nih bekal buat lo,” saut gadis itu, tanpa memedulikan keberadaan Leisya di sana. Gadis itu menarik bangku untuk duduk di samping pria itu. Kemudian membukakan bekal yang ia bawa, untuk diletakkan tepat di hadapan Gavian.

“Bekal lo kaya untuk anak TK,” komentar Leisya, melihat bentuk makanan yang kini berada di hadapannya. Karena memang posisi duduknya berada di hadapan Gavian, hanya terhalang meja.

“Gue enggak butuh komentar lo,” sinis Milea, menatap tajam dirinya.

Sementara itu, Gavian yang tidak ingin menyulut pertengkaran, memutuskan untuk memakan bekal yang dibawakan Milea.

“Gimana rasanya, Vian?” tanya gadis itu, berbinar-binar.

“Tunggu, sejak kapan lo panggil dia Vian?” tanya Leisya, menekankan kata terakhir.

Pasalnya panggilan tersebut hanya disematkan oleh orang-orang terdekat pria itu. Dan melihat respon pria itu yang tidak keberatan sama sekali, Leisya merasa... sedikit terganggu.

“Sejak tadi malam, dan itu bukan urusan lo,” ketus gadis itu, menjawab pertanyaan Leisya.

“Lagian lo juga enggak ada hak, buat larang-larang Lea, kan? Toh, Gavian juga enggak protes. Jadi, lo yang cuman orang asing enggak perlu perhatiin sampai sedetail itu,” saut Lula, yang baru saja datang. Ikut menimbrung dalam percakapan mereka.

Melihat kedatangan Lula dengan seseorang yang cukup dibencinya, Leisya hanya menghela napas panjang. Sadar, jika kini ia tidak memiliki seseorang yang akan memihaknya di meja itu. Untuk itulah, gadis itu beranjak pergi, karena malas jika harus berdebat dengan mereka.

“Eh, Lei mau ke mana? Makanan lo bahkan belum lo sentuh?” tanya Abimana, melihat kepergian gadis itu.

“Makan aja Abim, gue udah kenyang,” saut gadis itu, tanpa menoleh ke arah meja yang ia tempati sebelumnya.

Sedangkan Gavian yang melihat kepergian gadis itu, hanya menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh. Mengingatkan ia dengan percakapannya bersama sang papa.

***

Flashback

“Enggak ngerjain tugas, bang?” saut sang papa. Ikut duduk di kursi yang memang tersedia, di setiap balkon yang ada di rumah itu.

“Abang enggak punya tugas, pa,” saut pemuda itu, tanpa mengalihkan pandangannya dari langit malam.

“Gimana Amigost?” tanya pria itu lagi.

“Baik. Papa mau ngomong apa?” saut pemuda itu, memutus basa-basi sang papa.

Sedangkan Rahardian yang melihat kepekaan putranya, hanya berdecak bangga, karena putranya seratus persen meniru dirinya sewaktu muda. Terlalu to the point, tidak suka berbasa-basi.

“Kamu sudah liat bagaimana keadaan keluarga itu, kan?” tanya Rahardian, kembali memancing kepekaan sang putra.

“Kalau yang papa maksud om Arga, tentu Vian sudah lihat. But, where does it go wrong? They are like a family in general?

Paruh baya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Menyetujui perkataan sang putra.

“Tetapi, dia melupakan keluarganya yang lain,” saut Rahardian, mengikuti kegiatan sang putra, memandangi langit malam.

“Maksud papa?”

“Leisya.”

Satu kata yang diucapkan papanya, berhasil membungkam pemuda itu.

“Kamu tau bang, saat pertama kali melihat gadis itu. Papa langsung menaruh rasa sayang padanya,” jelas pria paruh baya itu, menerawang ingatannya beberapa tahun silam.

“Dulu, dia hanya gadis kecil yang memiliki keinginan sederhana, memiliki sosok papa yang akan menjadi super heronya,” tambah pria itu, dengan kekehan serak. Entah kenapa jika mengingat gadis kecil itu, dia selalu merasa sedih.

“Dan sekarang papa sudah berhasil menjadi super hero, untuk dia,” balas Gavian, sedikit jengkel akan kedekatan gadis itu dengan kedua orang tuanya.

Mendengar nada jengkel dari putranya, pria itu sontak terkekeh.

Nope, sayang. Papa tidak akan pernah bisa menempati posisi yang diinginkan gadis itu. Ah, sudah lama papa tidak bertemu dengan Leisya,” ungkap pria paruh baya itu, sengaja ingin menambah kejengkelan sang putra. Yang sangat gengsi untuk mengaku cemburu.

“Ck, ya sudah papa bisa gantikan Vian, untuk mengantar gadis itu,” ketus Gavian. Ditanggapi raut serius oleh sang papa.

“Bang, papa dan bunda minta maaf, kalau kamu merasa terbebani untuk memberikan sedikit perhatian kepada Leisya. Papa akan cari alternatif lain, agar kamu tidak perlu repot-repot mengantar Leisya pulang.”

“Apaan sih, pa,” saut pemuda itu, tidak suka akan perkataan sang papa.

Jika ditanya, apakah pria itu keberatan, maka ia akan menjawab tidak tau. Karena sejauh ini, ia hanya merasa kesal harus selalu terlihat menuruti perkataan gadis itu, yang senang sekali memerintahnya.

“Papa serius boy. Kalau begitu, kamu segera masuk, waktu semakin larut,” ujar pria yang wajahnya bagai pinang dibelah dua dengannya. Tanpa pembuktian tes DNA pun, orang-orang akan percaya, jika ia adalah putra dari Rahardian Reishard.

Menepuk bahunya dua kali, pria yang ia panggil papa itu bergegas pergi dari sana. Meninggalkan pemuda yang kini, menghela napas berat, sedikit merasa bersalah akan perkataannya kepada sang papa beberapa menit yang lalu.





Nah loh, si Gavi sudah mulai memikirkan neng Lei.
Yok, bisa yok, kasih vote + komennya, agar Vi semangat up nya 😉

At CloseWhere stories live. Discover now