8. "I love us being this, Mas. I love us."

28 4 20
                                    

Kaluna

Di era jobless begini, aku kudu extra mengirit pengeluaran. Tidak mungkin untuk kebutuhan pribadi aku masih menengadahkan tangan minta Mama atau Papa. Setidaknya kebutuhan domestikku sendiri tetap aku yang bertanggung jawab.

"Halo. Kamu di mana sekarang, Kal?"

"Saya masih di kantor penerbit sekarang. Kalau ketemuan di rumah aja, gimana?"

"Oke. Kabarin aja kalau sudah di rumah, sekarang saya siap-siap dulu."

Dan, voila! Di sinilah kami. Duduk manis di ruang tamu, satu jam setelah obrolan singkat di telepon tadi.

Sepuluh menit sudah kami hanya saling lempar pertanyaan basa-basi seputar kegiatan hari ini. Bagaimana kerjaan Baskara? Bagaimana progress tulisanku? Namun, sama sekali tidak nyerempet ke alasan kenapa aku sampai meminta waktunya malam ini.

Aku sendiri jadi bingung harus dari mana cerita tentang biaya di penerbit. Setelah mandi tadi, aku jadi merasa sepertinya kurang etis kalau membahas keuangan bahkan dengan orang yang aku tidak tahu statusnya dia apa bagiku sekarang.

"Mas Baskara waktu pertama kali mau dikenalin ke saya, nggak ada protes ke Ibu atau Bapak?" tanyaku akhirnya masuk ke topik yang lebih relate untuk kami berdua.

Baskara tersenyum lebar sambil menggaruk pelipisnya. "Bukan protes lebih tepatnya, shock aja."

"Ya, kan? Hari gini masih ada cara begini."

Laki-laki yang memaki kaos polo itu tertawa. "Not that bad, tho. Kalau nggak seperti yang diharapkan orangtua, kita masih bisa jadi teman, kalau kamu nggak keberatan."

"Oh? Bijak, ya?" tanyaku jail.

"Terima kasih." Dia tersenyum satu garis.

Bagaimana aku menjelaskannya? Ada sesuatu yang membuat dia menarik bukan sekedar penampilan fisiknya. I bet everyone agrees that he's cute, tapi bukan itu yang membuatku nyaman ngobrol dengan dia.

"Mas Baskara," kupanggil namanya, lalu menarik napas dalam-dalam, "Mas Baskara punya kriteria ideal?"

Baskara tampak tenang mendengar pertanyaanku, selayaknya dia sudah jutaan kali mendapat pertanyaan sejenis. Tidak heran, sih, melihat dia seperti ini. Aku lebih penasaran alasan kenapa ada orang sebaik Baskara malah masih betah sendiri dan kenapa mau datang ke pertemuan pertama kami kemarin.

"Di umur segini, saya cuma bisa berharap jangan dipertemukan dengan yang beda agama. Saya nggak mau repot," jawab dia akhirnya.

"Ah. I see. Pernah punya pengalaman itu?"

Dia menggeleng. "Syukurnya nggak."

Aku berdehem beberapa kali sebelum memberikannya pertanyaan penting, "Saya rasa orangtua kita sama-sama punya keinginan yang sama, Mas. Menurut kamu, apa kita harus memperjelas semua secepatnya?"

Percayalah, ini pun di luar prediksiku. Ketika berhadapan dengan Baskara, aku seperti bisa membahas apa saja yang ada hubungannya dengan aku, dia, atau kami. Dan, saat ini antara ikut program penerbitan dan hubungan kami, sama-sama punya porsi besar untuk dibicarakan. Aku tidak mau membuat dia terus-terusan menjadi opsi keduaku kalau Sandra sedang sibuk, atau sekedar menjadi pendengar ketika aku punya masalah.

Dari cara dia menanggapi WA-ku tadi sore dan permintaan maafku kemarin, aku merasa aku juga ingin bisa mendengar hari-hari beratnya. Mungkin sekedar ada untuk menemani ketika dia capek.

Baskara terdiam. Matanya tetap menatapku. Detik-detik menunggu responnya ini, terasa membuatku kehabisan napas. Entah apa yang kuharapkan, jantungku berdegub cepat, seperti takut Baskara akan memberi jawaban yang tidak ingin kudengar. It's not good, I start to hope for something else.

The Wedding RingWhere stories live. Discover now