12. Pelarian

Mulai dari awal
                                    

oOo

Bia terisak-isak tanpa ditahan dalam pelukan Kean. Kean hanya mengusap-usap rambutnya, membiarkan adiknya itu puas menangis. Sampai Bia terdengar lelah, Kean pun mendudukkan Bia di tepi ranjang. Kean berjongkok dan menatap wajah Bia yang sekarang sudah bisa diajak bicara.

"Bia tau, semua orang pasti kena masalah, dan nggak semua siap buat itu. Kayak Bia sekarang." Kean mengusap-usap punggung tangan Bia.

"Tapi kabur dari masalah itu bukan pilihan benar."

"Bia bener-bener nggak mau ketemu Kak Aru lagi," ucap Bia pelan seraya menunduk.

"Terus Bia mau jelasin tentang kalian ke Mama Papa? Mereka nggak mungkin kasih izin Bia tanpa alasan yang jelas."

"Jangan ...."

"Oke gini, Kakang bakal minta Aru aja buat berhenti ngajar. Lagian itu bukan keperluan kuliah kok, Aru cuma gantiin gurunya aja."

"Jangan juga." Bia menggeleng-geleng. Itu hanya akan semakin menumpuk salah. Kemarahan Zyan takutnya juga akan bertambah.

"Bia sekarang di situasi kaget. Setelah dipikir perlahan, nanti Bia akan tau kalo yang Bia lakuin nggak sefatal itu, Bia masih bisa memperbaikinya." Kean tersenyum lembut, tangannya terulur untuk mengusap sisa-sisa air mata di pipi Bia.

"Adeknya Kakang 'kan hebat, Bia pasti bisa."

oOo

Satu tahun lalu

Bia memandangi keadaan di luar dengan senandungan yang riang. Bisnisnya semakin bagus. Bulan-bulan ini pemasukkan Bia luar biasa. Klien-klien banyak yang bilang puas. Bia semakin bangga pada dirinya.

Good luck, pelakorkuh....

Bia tertawa kecil membaca pesan yang dikirimkan Kintan. Hari ini Bia memang akan membuat putus sebuah pasangan. Kliennya dari awal bilang akan membayar lebih. Yang semakin membuat Bia dan Kintan kegirangan tentunya.

Bia tengah mengetik balasan begitu notifikasi saldo masuk muncul di atas layar ponselnya. Kening Bia berkerut. Kesepakatan Bia adalah klien akan membayar saat mereka sudah putus. Sekarang Bia bahkan baru di perjalanan untuk menemui cowoknya.

Bia yang memegang prinsip usahanya itu pun langsung menelpon si pengirim uang itu.

"Kak, kok udah transfer?"

"Oh iya, sorry, Bi. Gue baru transfer."

Kening Bia berkerut. Tanggapan orang dari seberang sana terdengar ganjil. Bia justru mempermasalahkan karena dia mengirim lebih awal.

"Hp gue jatuh ke kolam, jadi gue baru bisa transfer barusan."

"Nggak, maksud gue, transfer itu kalo udah putus. Gue jadi nggak nyaman kalo gini, Kak. Gimana coba kalo gagal?"

Cewek di seberang sana tertawa. "Iya-iya, justru gue transfer karena udah putus."

"Hah?" Bibir Bia menganga.

"Jadi kemarin Aru nelpon, dia bilang putus. Saking senengnya gue sampe jatohin hp ke kolam."

Bia menganga. "Terus rencana hari ini?"

"Eh iya, lo belum berangkat 'kan, Bi?"

Bia menatap sekitar dan baru menyadari jika dirinya hampir sampai. "PAK JANGAN BELOK, LURUS AJA!" pekik Bia dengan panik saat sopir taksinya hendak berbelok ke arah halaman restoran tempat dirinya janjian.

"Bi gue nggak telat ngasih tau lo 'kan?"

Bia memegang dadanya dan mencoba menenangkan napasnya yang terengah. "Nggak, aman kok," ucapnya seraya melihat restoran yang kini sudah terlewati.

Putus berbayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang