9. Interogasi

886 197 46
                                    

Kean tidak berbicara pada Bia satu patah kata pun selama perjalanan. Kean bahkan memacu motornya dengan kecepatan tinggi seolah ingin cepat-cepat sampai. Padahal Bia paling suka jika dijemput Kean, karena biasanya kakaknya itu akan menawari Bia jajanan di pinggir jalan. Setiap melihat pedagang, pasti Kean akan bertanya Bia mau atau tidak. Kean tak pernah protes sebayak apa pun yang Bia mau atau sesering apa mereka harus berhenti.

Kali ini sama sekali tidak begitu. Bia bahkan harus berpegangan erat karena takut jatuh. Kean bahkan tak menggubris saat Bia bilang untuk pelan. Sebenarnya, kakaknya itu kenapa?

"Kakang kesurupan ya?" tanya Bia begitu mereka berhenti di halaman rumah. Bia sedikit berdecak kesal. Dia bahkan tak sungkan menunjukkan wajah cemberutnya saat menyuruh Kean untuk membukakan helmnya.

"Bia bilangin Mama kalo Kakang bawa motor kebut-kebutan. Siap-siap dimarahin ya."

Saat Bia hendak berbalik untuk masuk, Kean langsung menahan lengan cewek itu. Dia pun menariknya ke arah yang berbeda.

"Ada yang mau Kakang bicarain," ungkap pria itu.

Kean membawa Bia pada gazebo di sudut pekarangan. Seolah apa yang akan dirinya bicarakan tidak boleh sampai kedengaran orang rumah.

Kean mendudukkan Bia pada bangku kayu. Diikuti dirinya di samping. Kean sedikit menyerongkan tubuh Bia agar mereka saling berhadapan. Cewek itu pun menurut. Menatap Kean dengan mata bulatnya. Bia tidak benar-benar kesal, dia hanya suka berpura-pura begitu untuk menjahili Kean. Bisa dibilang begitulah cara dirinya manja-manja kalau di rumah.

"Sejak kapan kamu tau temen Kakang?"

"Sejak dia anterin buku ke Kakang. Terus Kakang marahin Bia, terus Bia ngadu ke Ayi, dan Ayi ajak Bia beli es krim buat hibur Bia." Bia sedikit menyipitkan matanya.

"Ayi 'kan super baik, nggak kayak seseorang yang suka marahin mulu," sambungnya dengan bibir mencebik-cebik. Bia pikir Kean akan mengikuti candaannya. Ternyata tidak

Kean menggeleng. Wajahnya menatap serius. "Bi." Nada suaranya sedikit ditekan. Menuntut Bia agar mau serius dalam menanggapi ucapannya.

"Apa? Kakang mau marahin Bia?"

"Sejak kapan kamu tau temen Kakang?" Suara Kean cukup menekan. Bia memberengut. Kali ini dia benar merasa kesal. Bia tidak suka saat Kean mulai bersikap galak begini.

Bia berdecak. "Bia harus gimana coba? Pak Zyan jadi guru bukan keinginan Bia. Bukan salah Bia kok kalo Bia kenal sama temen Kakang."

"Bi--"

"Lagian kenapa sih Kakang larang Bia kenal sama temen Kakang? Kenapa Bia harus sedosa itu?"

Kean menghela napas. Dia memegang kedua bahu Bia. Menyuruh Bia agar benar-benar memperhatikannya dan tahu bahwa Kean benar-benar tengah serius.

"Kakang nggak pernah berniat larang Bia kenal sama temen Kakang, Bia sendiri yang suka pake celana pendek dan ngeyel banget kalo dibilangin. Bia nggak ngasih pilihan selain suruh Bia diam di kamar."

Bia memalingkan wajah. Memasang wajah tembok, enggan mengakui kesalahan. Maksudnya, tempat tinggal Bia bukan tempat dingin seperti di puncak. Celana pendek benar-benar paling nyaman dipakai sehari-hari. Jadi, Bia tidak bersalah untuk itu. Salahkan udaranya.

Namun, tak lama kemudian Bia mengerjap, otaknya baru menyadari sesuatu. "Terus kenapa sekarang Kakang marah? Bia 'kan nggak pake celana pendek ke sekolah."

Kean memegang kepalanya seolah pusing. Sekali lagi Kean itu tipe yang kalem. Sampai uring-uringan begini, terlihat aneh di mata Bia.

Bia tiba-tiba membekap mulutnya dengan mata yang membelalak. "Jangan-jangan Pak Zyan itu musuh bebuyutan Kakang?" terkanya setelah mencoba mengobservasi dari apa yang disimaknya.

Putus berbayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang