"Gue beneran nggak tau. Kakang cuma pernah bilang dia nggak mungkin temenan sama orang yang punya pengaruh buruk."

Kumpulan cewek-cewek itu langsung memekik.

"Ya Ampun, ternyata Pak Zyan good boy. Wah, makin tinggi aja nih harapan gue."

Bia hanya menggeleng-geleng. "Orang dia punya pacar juga," gumamnya. Yang langsung Bia sesali karena Vita ternyata punya pendengaran yang begitu tajam.

"Pak Zyan punya pacar, Bi?!"

Semua mata kembali menatap Bia dengan penuh tuntutan.

"Katanya lo nggak tau apa-apa? Terus itu lo tau Pak Zyan punya pacar." Yena menatap Bia dengan mata yang menyipit.

"Iya, Bi. Lo beneran nyembunyiin sesuatu dari kita."

"Bi, lo itu cantik. Guru magang terlalu biasa, lo pasti bisa gaet yang jauh-jauh lebih baik dari dia di luaran sana. Yang kaya, bahkan artis, semua pasti mau sama lo kok."

Tangan Bia di bawah sana diam-diam meremas. Bia sudah lama tidak mendengar kata-kata kasar itu. Ternyata rasanya masih sama.

Entah bagaimana orang lain memaknai kalimat seperti itu, tapi bagi Bia, itu seperti merendahkan dirinya. Seolah dirinya hanya produk, bukan manusia. Yang seenaknya orang inginkan lalu bisa dimiliki dengan mudah karena tak punya perasaan.

Mengapa Bia harus dengan orang kaya? Mengapa Bia harus dengan orang terkenal? Mengapa mereka menentukan sendiri atas keinginan Bia?

Kenapa memangnya kalau Bia mau dengan Zyan?

Maksudnya! Siapa pun yang Bia mau, itu hak Bia. Bukan, urusan mereka.

BRAK!

Semua orang terkaget, lalu menatap Kintan yang baru saja menggebrak meja. Cewek itu segera mengeluarkan ponsel lalu menunjukkan sebuah foto. Yang lain tentu bertanya-tanya karena tidak mengenalnya.

"Ini pacar Pak Zyan," ucap Kintan.

"Loh, lo kok bisa tau, Tan?"

Kintan hanya menghela napas. "Kalo gue aja sampe tau, harusnya lo ngerti apa maksudnya dong?"

"Pacarnya Pak Zyan ... Say Sorry?"

Kintan tak menjawab. Dia hanya meraih tangan Bia dan membawanya berdiri. "Anterin gue ke toilet, Bi."

Mereka pun melenggang pergi meninggalkan cewek-cewek itu yang masih membentuk spekulasinya.

"Tan, kenapa harus bocorin klien?" tanya Bia begitu mereka sudak berjalan di koridor. Bia tidak marah pada Kintan, dirinya hanya heran saja.

"Merekanya resek! Gemes gue, Bi. Seenaknya aja kalo ngomong." Kintan terlihat menghentak-hentak kakinya.

"Gimana kalo mulut mereka ember, terus kedengeran sama Pak Zyan?"

Kintan terkekeh sinis. "Gue jamin 100% yang ada mereka malah bantu lo, Bi. Liat Pak Zyan putus mereka makin girang lah."

"Gedek banget gue sama orang-orang kayak mereka. Padahal yang insecure mereka sendiri, bukannya tobat, malah makin nurunin nilai dengan nginjak orang.

"Emangnya kenapa kalo orang yang mereka suka milih cewek lain? Toh yang naksir baru sebatas mereka sendiri, nggak pacaran tuh sama cowoknya. Bahkan cowoknya aja mungkin nggak tau soal mereka. Gampang banget ngatain pelakor. Padahal nyatanya mereka yang doyan ngeharepin milik orang."

Bia berhenti, dia menatap Kintan. "Tan, lo emang sahabat terbaik gue." Bia mengedip-ngedipkan matanya dengan bibir yang mengerucut lucu.

"Keep strong, Bosku." Kintan mengusap-usap lengan Bia.

Putus berbayarWhere stories live. Discover now