Sang Raja dan Penyihir

Start from the beginning
                                    

Pada akhirnya mereka bisa melihat kastil Wye Morton dari kejauhan. Menara-menaranya yang hitam tinggi ditutup salju setebal satu senti. Ujungnya berbentuk kerucut tengan tepian bergerigi. Kastil itu—sama seperti kastil pada umumnya—berdiri di atas bukit rendah. Gerbang kastil dijaga dua pria bertubuh besar dengan baju zirah yang tampak lebih besar dari ukuran tubuh mereka yang sebenarnya. Mereka menghampiri ketiga penunggang dengan sikap waspada. Rosie mengintip lewat tudung mantelnya. Dia sudah bisa menebak seperti apa keadaan kastil jika para pengawalnya seseram itu.

"Dari mana kalian berasal? Apa urusan kalian di sini?" salah satu pengawal bertanya.

"Maaf, saya hanyalah pemburu asing," kata Rowlish. "Saya tahu Anda berdua ingin mengatakan hal ini; 'Sir, Anda telah melanggar batas aturan bertamu di Abbery.' Begitu, kan? Tapi tenanglah, saya bukannya sekedar bertamu. Saya ingin segera bertemu dengan Raja Herbert yang katanya hebat itu."

"Pergi dari sini!" gertak si pengawal. "Kalian tidak hanya melanggar batas aturan bertamu, tapi Raja juga sedang tidak ingin diganggu."

"Oh, saya tidak tahu bahwa pengawal Raja bisa begitu sombong," kata Rowlish dengan nada mengejek. "Saya tidak akan menjelaskan maksud tujuan saya sampai bertemu dengan Raja. Harus empat mata."

"Keterlaluan benar orang ini!" geram si pengawal. "Mungkin kami harus mengusir kalian dengan paksa?"

Kedua pengawal itu mencabut pedang dari sabuk mereka. Mencium situasi yang kurang menyenangkan ini, Rosie menyibakkan tudung mantel dari wajahnya. Spontan kedua pengawal tadi membeku di tempat. Pedang mereka jatuh berkelontangan. Mata mereka terbelalak kaget.

"P-Putri Camelia?" mereka tergagap.

Rosie mengangkat dagunya dengan lagak angkuh seperti bangsawan. "Aku ingin tahu," katanya, "mengapa kalian mencoba mengusir pemburu mulia ini? Kalian bahkan tidak bertanya siapa yang bersamanya. Benar-benar memalukan!"

"M-maafkan kami, Tuan Putri," kedua pengawal itu berlutut dan menyembah-nyembah dengan ketakutan. "Beribu maaf, beribu maaf. Oh, puji syukur, akhirnya Raja bisa bertemu lagi dengan Anda. Selamat datang, selamat datang."

"Eh, bangunlah. Kumohon," kata Rosie, merasa risih. "Ayo, kumohon. Kalian berdua kumaafkan atas tindakan yang kurang berkenan. Tidak usah dipikir lagi. Bangunlah." Kedua pengawal itu tegak kembali.

"Kalau begitu kita harus segera pergi menemui Raja," kata salah seorang pengawal. "Beliau pasti akan sangat lega melihat putri kesayangannya kembali dalam keadaan selamat."

"Itu benar," kata Rowlish, memutar bola matanya. "Kalian seharusnya memberitahu Raja dengan segera. Begitu matahari naik, umumkanlah berita bahagia ini pada rakyat Abbery. Mereka juga pasti sudah menunggu-nunggu saat ini."

Kedua pengawal itu berseru, "BUKA GERBANGNYA! BUKA GERBANGNYA UNTUK TUAN PUTRI!"

Begitu gerbang kastil dibuka, kedua pengawal itu berdiri menyamping memberi hormat. Rosie menarik napas lega. Langkah pertama berjalan dengan mulus, dia membatin. Sekarang tinggal bertemu Raja—eh—ayahku.

Puddlepot menepuk punggung Rosie. "Kerja yang bagus. Aku harap, setelah kita bertemu dengan raja sinting itu, kita mendapatkan sarapan yang layak."

"Ya ampun, Puddlepot, kau bicara apa, sih?" tegur Rosie. "Kau baru saja melahap tiga kubis dan selusin wortel!"

"Perjalanan ini membuat perutku lapar," bantah si kelinci. "Dan udara dingin mempercepat proses pencernaanku."

Rowlish berderap di belakang Rosie. Mereka menyusuri jalan berpetak-petak yang membawa mereka menuju halaman kastil yang putih penuh salju. Pohon-pohon juniper kerdil berjajar di sepanjang jalan, seperti serdadu-serdadu mini. Penjaga menara yang mengintip dari pos jaga mereka menyadari kehadiran Rosie, lalu memainkan terompet seraya berteriak, "BUKA PINTUNYA! TUAN PUTRI TELAH KEMBALI!" Pintu depan kastil terbuka perlahan-lahan dan sepuluh orang pengawal keluar, diikuti seorang pria jangkung kurus berwajah runcing. Kepalanya botak, meskipun tidak selicin kepala Rowlish. Dia memakai syal berbulu yang melingkar di leher. Sepatu botnya kebesaran. Pakaian tidurnya kusut di balik mantel yang menutup tubuhnya dari bahu sampai mata kaki. Napasnya mengepul selagi dia berlari menghampiri mereka. Bersamaan dengan itu, sebuah lonceng berbunyi. Lonceng yang menggetarkan hati penghuni kastil. Para tukang cuci, pengurus istal, pekerja kebun, pelayan wanita, dan orang-orang lain yang beraktivitas di pagi hari langsung terhenyak dan buru-buru melongok keluar untuk menyaksikan kedatangan 'Tuan Putri' mereka.

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now