Sesuatu yang Pantas Diketahui

Start from the beginning
                                    

"Jika para pengikut Merlin yang kalian percaya masih ada, mestinya mereka juga bisa menampakkan diri mereka di sini sekarang, walau sehelai rambut saja," kata Alfendork pelan. Napasnya membekukan udara. Kedua matanya yang tajam mengarah pada Gideon dan Montgomery. Entah apa yang dipikirkannya, tapi menurut Montgomery, sama sekali bukan sesuatu yang pantas diketahui.

"Jadi, bagaimana menurut kalian, hmmm? Oh, Gideon, kau masih muda tapi kau sudah kehilangan ibumu. Kehilangan ayahmu pasti lebih sulit lagi. Aku tahu, aku tahu rasanya ketika hatimu hancur, apalagi ketika mendengar mulut orang-orang itu mencaci maki kaum penyihir keturunan Merlin, karena ayahmu salah satu dari mereka. Tapi kau tak bisa berbuat apa-apa, karena kau sendiri belum menyadari keistimewaan dalam dirimu secara utuh."

"Lalu apa yang kauinginkan dariku?!" raung Gideon, isaknya semakin keras. "Kau mau membuatku semakin menderita, heh? Setelah kau membunuh ayahku?!"

"Membunuh? Membunuh katamu? Oh, Giddy sayang, aku tak bermaksud membunuh!" kata Alfendork dengan suara dimanis-maniskan. "Ayahmu dan aku adalah teman lama. Yaaah, setidaknya kami sudah dekat selama bertahun-tahun. Tapi dia telah lupa pada jati dirinya, semenjak dia menikah dengan ibumu. Dia seorang wanita yang cantik dan berhati emas, tapi dia telah mencuri ayahmu dari kami. Dan itulah kenapa kami mencoba mengajaknya bergabung kembali, tapi dia menolak. Dia suka kehidupan fana! Ha! Hidup dengan kematian menghantui, bukankah itu menggelikan! Jadi, kau masih berpikir bahwa ia mati tanpa alasan?"

"Gideon," bisik Montgomery, beringsut ke depan untuk menatap wajah sahabatnya, "kumohon buka mata hatimu. Dengarkan aku—semua yang dia bicarakan adalah omong kosong. Ingat apa yang dikatakan Alabaster? Ingat apa yang terjadi para Aumora?"

"Kau sudah membunuh ayahku," ulang Gideon, mengabaikan Montgomery, "aku sudah pasti akan melangkahi mayatmu untuknya."

Alfendork terkekeh. "Bocah lugu, kau memang terlalu bodoh untuk mengerti masalah penyihir..."

"AYAHKU BUKAN PENYIHIR SEPERTIMU!" gerung Gideon, mukanya berubah keunguan. "KAU DI SINI BICARA DENGAN KEBOHONGAN SEOLAH-OLAH KAU BISA MEMBODOHIKU? KAU SALAH! Lagipula..." Gideon mengangkat kepalanya dengan lagak menantang. "...aku tak peduli dengan Gibbs lagi, mau sekeras apapun dia berbohong padaku. Aku tak peduli, kau dengar, Iblis?! Aku tak lagi mengharapkan banyak hal darinya. Benar! Itulah kenyataannya! Aku tahu aku memang anak muda konyol yang suka mengkhayal, tapi aku bukan anak lemah yang mau berhenti menangis setelah diberi permen! KAU DENGAR ITU, IBLIS?!"

Alfendork tertawa semakin keras.

"Dan aku..." Gideon kini bangkit dengan susah payah. Wajahnya masih terangkat memandang kedua mata Alfendork, tidak sekalipun ke arah Montgomery. "...aku... aku adalah Gideon, putra Gresham. Mungkin bagi kalian, nama itu adalah bukti bahwa orangtuaku bukan orang yang cerdas dalam memilih nama, yang terdengar terlalu agung untuk putra mereka yang payah. Aku selalu bercita-cita menjadi ksatria, meskipun aku tak punya pedang yang tajam, atau tameng yang berkilauan, atau panji-panji yang berkibar tertiup angin... aku akan menjadi ksatria terhebat sepanjang masa! Baik, mungkin kau bisa tertawa! Kisah hidupku adalah bagaimana aku tumbuh dan belajar. Kisah-kisah tentangku akan dituturkan dari mulut ke mulut, diulang-ulang sampai orang yang mendengarnya bosan, lalu dimuat dalam sebuah buku bersampul kulit dengan judul bertinta emas. Buku itu akan menemani anak cucuku dengan kisah-kisah petualanganku yang menjadi pengantar tidur mereka, walau kelak mereka sudah terlalu tua untuk membacanya, biarlah buku itu tersimpan di dalam peti yang gelap dan pengap, ditumbuhi jamur, dimakan rayap, dan akhirnya musnah karena usia! Tapi, hal yang sama takkan terjadi padaku sekarang! Bagaimana mungkin? Karena dari janji palsu seorang ksatria pengecut, khayalan dan mimpi-mimpi konyol, ceramah pendeta Druid sinting di pasar, dan tangisan gadis yang kucintai... aku sekarang tumbuh menjadi lebih kuat! Aku lebih kuat dari gedung terkokoh yang dibangun manusia, hatiku lebih keras dari berlian, dan semangatku sepanas obor yang tersulut di medan perang!"

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now