13. Hero

8 2 4
                                    

"TOLOONG!"
Seru gadis kecil dengan suara rendahnya. Bocah dengan seragam merah putih itu berlari menghindari sesuatu.
"TOLOONG!"
Kedua kaki mungil gadis itu tetap melaju. Kini tampak apa yang membuatnya berlari. Tiga orang pria dengan tatto di sekujur tubuh mengejarnya. Entah apa yang mereka inginkan dari bocah yang masih bau kencur seperti itu.

"Tolong!"
Suara gadis itu melemah kala langkahnya menemui jalan buntu. Ia berbalik, menatap ngeri tiga monster yang siap menerkamnya.
"Toloong!" Gadis itu mencoba upaya terakhir. Berharap ada yang mendengarnya.
"Gak ada yang denger suaramu dek!" Salah seorang dari mereka menyentuh dagunya. Si gadis menghindar.
"Ayo dek!" Seru pria lain. Bocah itu mundur beberapa langkah.

'DUG!'
Punggung gadis kecil menyentuh beton pagar. Tak ada jalan lain. Tiga monster penuh tatto menatapnya beringas. Siap menerkam anak kucing yang terpojok dihadapannya.

"Tolooong!" Kali ini ini gadis itu pasrah, jika tak ada manusia. Tuhan pasti mendengarnya.
"Mantap rek!" Seorang dari mereka maju, menangkap lengan mungil gadis itu dan mengendusnya. Dua lainnya ikut maju, hendak melakukan hal yang sama.

'BUGH!'
Seseorang jatuh tersungkur setelah sebuah linggis menghantam kepalanya. Dua orang preman menoleh melihat rekannya terkapar dengan kepala bocor.

"Lo berdua maju! Atau tinggalin itu bocah!" Ravi mengacungkan linggis. Darah merah terlihat di ujung batang besi itu.
"Siapa lo? Gak usah sok jagoan! Kita penguasa wilayah sini." Seru seorang yang bertubuh paling besar. Sepertinya ia si pemimpin.
Satu sudut bibir Ravi terangkat "Didalam sel, kasta terendah narapidana bukan pembunuh. Tapi pemerkosa."

Si pimpinan terlihat geram. Ia melepaskan lengan gadis kecil dengan kasar.
"Banyak bacot lo! Maju kalo berani!"
Dua preman menyerang Ravi tepat di ujung kalimatnya.

'DANG!'
Batang besi Ravi menghantam leher salah satu preman. Pria dengan tubuh kurus penuh tatto itu tergeletak seketika. Terlihat jelas tulang lehernya patah. Preman bertubuh gempal yang tersisa mundur dua langkah.

Ravi melangkah maju dan mencekik leher si tubuh gempal. Pemimpin kawanan preman itu tak berkutik.
"Sya!"
Panggil Ravi. Aisyah berlari kecil di belakangnya, bocah dengan seragam merah putih segera berhambur merangkulnya.

'DANG!'
Ravi menghantam tengkuk preman itu dengan linggis. Pria bertubuh gempal itu terjatuh seketika.

"Kak Ais!" Si gadis kecil terisak dalam pelukan Aisyah. Wanita itu mengecup kepalanya berkali-kali, berusaha menenangkan.
"Amel tenang ya! Mereka udah pergi."
"Amel takut kak!" Tangis Amel semakin pecah. Ravi mendekati kekasihnya.

"Aku udah telfon polisi, mereka lagi otw." Ujar Aisyah, Ravi mengangguk.
"Ayo ke mobil, biar Amelnya minum dulu!"

Aisyah mendudukkan tubuh mungil Amel di kap mobil. Ravi menyodorkan sebotol air mineral, Aisyah membantu Amel meneguknya hati-hati.
"Udah, jangan nangis!" Aisyah menyeka pipi lembut Amel. Senyum terpampang di bibir mungil itu untuk sejenak.

Mata Aisyah menyapu pakaian Amel, berusaha mencari tahu apapun.
"Mereka buka ini?" Aisyah menunjuk kancing seragam putih. Amel menggeleng.
"Buka ini?" Aisyah beralih pada rok merah. Amel menggeleng lagi.
Kali ini perempuan itu menyingkap rok merah Amel, sebuah celana pendek setengah lutut terlihat.
"Mereka buka ini?" Tanya Aisyah memegang celana itu. Amel tetap menggeleng. Aisyah menutupnya lagi.

"Mereka pegang ini?" Aisyah menunjuk dada Amel ragu-ragu. Meskipun tampak rata, bukan berarti lolos dari nafsu bejat para monster itu.
Amel mengangguk dan menangis lagi. Aisyah merangkulnya.
"Kita belom terlambat!" Ujar Aisyah. Ravi mengangguk.
"Tau rumah Amel sayang?"
"Tau, di gang D." Aisyah mengangguk.
"Kita antar pulang ya!"
Aisyah mengangguk.

SiriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang