4. Ruang persidangan

24 5 17
                                    

Kantor kejaksaan negeri terlihat ramai, banyak kendaraan keluar masuk. Sebuah sedan patroli berhenti dengan gesit di lahan parkir. Tiga orang polisi segera turun, juga seorang pria muda. Seorang Ravi Abraham terlihat membuka pintu mobil polisi. Ia mengenakan kaos berwarna cerah. Ravi datang dengan pengawalan polisi. Namun dengan tangan yang bebas, tanpa borgol.

Ravi masih berdiri di samping mobil polisi, menyipitkan matanya. Memandang sekeliling, menatap tempat dimana ia akan diadili. Ya, hari ini adalah sidang pidana atas kasus pembunuhan yang dilakukan Ravi. Ia menatap santai kerumunan orang yang memasuki kantor kejaksaan negeri. Mereka adalah keluarga korban yang akan mengawal jalannya sidang dan menuntut keadilan.

"Ayo nak!" Ketiga polisi segera menggiring Ravi masuk ke kantor kejaksaan negeri.

Lima menit kemudian, Ravi bersama seorang asisten hakim telah melangkah diantara tempat duduk para saksi dan keluarga korban. Mereka menatap Ravi dengan beragam ekspresi. Ada yang benci, marah, sinis, dan ada juga yang menatapnya tidak peduli. Pandangan Ravi terhenti pada seorang anak muda seumurannya yang duduk di bangku saksi paling depan. Diantaranya semua orang, pemuda itu memberikan tatapan paling membenci. Ravi mengenal betul pemuda seumurannya itu.

Dia adalah Vicky, usianya sepantaran dengan Ravi. Ia teman kuliah Ravi, karena itu mereka saling mengenal. Lalu apa yang membawa Vicky hadir di persidangan Ravi? Apa yang membuatnya menatap Ravi penuh benci? Inilah menariknya. Terungkap fakta bahwa salah satu korban Ravi, yakni resepsionis hotel ternyata adalah kakak kandung Vicky. Tentu saja itu hal yang sangat wajar. Vicky marah karena ada yang membuat kakaknya kehilangan nyawa.

Asisten hakim segera membawa Ravi ke kursi terdakwa saat ia menyadari jika Vicky hendak bangkit dan melakukan sesuatu pada kriminal itu. Tahap demi tahapan sidang berlalu.. mulai dari dakwaan jaksa penuntut umum hingga replik dan duplik. Akhirnya tiba di penghujung sidang yang dinanti semua pihak, Putusan hakim.

"Saudara Ravi Abraham!" Suara tegas hakim ketua membuat jantung para hadirin berdebar kencang. Namun tidak dengan Ravi, ia masih terlihat santai.
"Dengan semua bukti dan pertimbangan jaksa serta hakim. Maka diputuskan.. Anda akan divonis tujuh tahun penjara." Ujar tegas Hakim ketua yang lantas mengetuk palu dua kali.

Ayah Ravi hadir di persidangan bersama anak sulungnya, yakni kakak Ravi. Ia tak kuasa menahan air mata kala melihat sang putra dijatuhi hukuman tepat didepannya. Sementara itu, para saksi dan keluarga korban terlihat puas dengan keputusan hakim. Namun tidak dengan Vicky, ia terlihat belum puas dengan putusan hakim yang menurutnya terlalu ringan.

"Saudara Ravi! Anda akan dipindahkan ke rutan kelas 1 Surabaya malam ini juga." Hakim mengumumkan pemberitahuan. Ravi hanya menanggapinya dengan anggukan. Siapa sangka, ternyata Vicky tidak tahan lagi dengan putusan hakim. Ia menggeram, bangkit dari duduknya.

"APA-APAAN INI PAK HAKIM?" Teriak Vicky mengejutkan semua orang.
"Pembunuh berantai empat orang hanya divonis tujuh tahun? KEBERATAN PAK HAKIM!" Semua mata tertuju pada Vicky. Disisi lain, polisi telah merapat, berjaga-jaga kemungkinan terjadi kericuhan pasca sidang.

"WOE RAVI KEENAKAN BANGET LU YE!" Vicky melangkah, hendak menghajar Ravi. Namun dua polisi segera menghalanginya.
"KEENAKAN LU! LU PASTI MAIN SOGOK KAN? NGAKU LU?" Vicky berusaha lolos dari polisi namun tidak bisa.
"Mas, saya tau adek saya salah. Tapi ini udah keputusan final hakim. Kita harus terima." Ujar Umar, Kakak Ravi. Namun Vicky tidak menghiraukan dan hanya mendengarnya sekilas.
"URUSAN LU AMA KAKAK GUA APA VI? APA HAH? kalo lu mau balesin urusan pribadi lu, YA GA USAH LIBATIN KAKAK GUA JUGA!" Teriak Vicky bergema di ruang sidang. Namun Ravi hanya menatapnya santai dari kursi terdakwa.

Suasana di ruang persidangan kian memanas, hakim tak kuasa menghentikan keributan yang diciptakan Vicky. Dua polisi tetap menahan badan Vicky yang hendak menghajar Ravi.

Dua menit bergelut dengan pertahanan polisi, Vicky akhirnya menyerah. Napasnya masih tersengal, matanya memerah, namun tidak ada lagi niatan untuk menghajar Ravi di ruang sidang.

"Ravi liat aja ye!!"
"GUA BAKAL BIKIN PERHITUNGAN SAMA LU! Camkan itu!!" Teriak Vicky lantas pergi meninggalkan ruangan sidang diikuti semua hadirin.

Lima menit kemudian, ruang persidangan berangsur sepi. Hanya menyisakan Ravi yang berdiri disamping kursi terdakwa, ayah dan kakaknya di bangku saksi serta Beberapa polisi yang membereskan sisa sidang. Ravi melangkah mendekati ayah dan kakaknya yang masih duduk di tempat duduk para saksi.

"Pa.. jangan khawatir! aku baik kok" Ujar Ravi sambil tersenyum, ia mengusap air mata di pipi ayahnya. Pak Hasyim menghembuskan nafas, mengangguk.
"Pa.. udah ya,, kita pulang. Nanti kita bisa jenguk Ravi kapan aja kok." Kak Umar Abraham mengelus lembut punggung ayahnya. Ravi menatap kakaknya yang beranjak dari duduknya.
"Kak .."
"Iya Vi?"
"Kakak berhak marah sama aku. Gapapa. Harusnya aku ga bikin kalian malu." Ucap Ravi datar. Namun bukannya marah, kak Umar malah menepuk bahu Adiknya.

"Siapa yang marah? Siapa yang malu? Jangan ngomong gitu!! Kita selalu ada buat lu kok! Tenang aja." Umar Abraham menyunggingkan senyum menawannya sambil menepuk pipi sang adik.

"Eh iya, lu tenang aja! Pengacaranya udah gua hubungin kok. Gua yakin ga lama lagi lu pulang, santai aja!" Ujar Umar sambil merapikan barangnya, bersiap pulang.
"Kak, udahlah. Aku siap nerima hukumannya, aku ga perlu uang tebusan.." ucap Ravi dengan nada mantap. Umar lantas mendekati adiknya.

"Lu masih muda, jalan lu masih panjang juga. Banyak yang masih harus lu kejar abis ini. Lu butuh kebebasan Vi." Umar berbisik pada Ravi, agar tidak didengar oleh ayah mereka.

"Iya kak,, tau.. justru karena aku masi muda, makanya aku tanggung jawab." Balas Ravi tak kalah berbisik.
"Lu mau liat ayah kek gitu terus? Engga kan?" Umar berbisik sambil menengok ayahnya sekali. Pertanyaan itu membuat Ravi terdiam.

"Yaudah Vi! Gua tunggu lu dirumah!" Umar tersenyum, ia melangkah menjauhi Ravi.
"Kalo lu pulang, kita latian tinju lagi." Sambungnya setengah berteriak, jarak mereka kini lima meter. Ravi hanya tersenyum miring mendengarnya.

"Ayo pa!" Kak Umar mengajak ayahnya pulang. Pak Hasyim mengangguk, lantas memeluk Ravi sebelum pulang.
"Jaga diri baik-baik ya nak!" Ucap pak Hasyim sembari memeluk Ravi. Matanya berkaca-kaca.
"Papa yang harusnya jaga diri! Jangan telat makan! Istirahat juga!" Ravi membalas pelukan sang ayah. Pak Hasyim mengangguk.

"Kak, titip papa ya!" Ujar Ravi saat kak Umar dan ayahnya akan meninggalkan ruangan sidang. Kak Umar mengangguk, ia membawa ayahnya melangkah menuju pintu meninggalkan Ravi bersama beberapa orang polisi yang akan membawanya menuju rumah tahanan.

Langkah Umar Abraham dan ayahnya terhenti di ambang pintu, ia membalikkan badannya.
"Cepet pulang Vi! Gua ada tugas buat lu!" Teriak kak Umar dengan volume sedang.
"Apaan?"
"Eksekusi mulut tetangga hahaha." Ujar kak Umar yang lantas tertawa.
"Shit!" Umpat Ravi dengan senyum miringnya. Ia berdiri menatap kakak dan ayahnya hingga punggung mereka hilang dari pandangan.

SiriusWhere stories live. Discover now