Chapter 07| Yah, Kalah

64 24 16
                                    

HAPPY READING 📖 and ONLY FUN MY BAE🤍

SORRY FOR TYPO

Jangan lupa jejaknya, ya, Sayang!
•••

Gelapnya malam memancing para jangkrik berkicau, sesekali suara kelelawar yang mulai beraktivitas terdengar juga. Bulan sabit menyinari malam sendirian tanpa ditemani bintang-bintang yang kini tertutupi awan.

Ranjang yang hanya cukup untuk dua orang remaja itu sudah ditempati, dengan Arvin yang tidur di pojok tembok dan Niel yang tidur di pinggir ranjang. Mereka kini terlelap setelah solat Isya berjamaah di musola tadi.

Mereka harusnya melanjutkan belajar. Mereka sendiri belum mengerjakan tugas pokok jurusan masing-masing. Tetapi, baru saja mereka membaringkan tubuh dan mengobrol ringan, tak sengaja mata mereka begitu lengket karena kantuk dan mereka langsung terbang ke alam mimpi.

Di ruang keluarga ada pasangan suami istri yang sedang menonton televisi. Lesehan di karpet, sesekali Marto memukul belakang televisi tabung yang sering hilang gambar atau buram layarnya, sedangkan Reta sedang melipati pakaian.

"SPP semester pertama Arvin harus lunas bulan depan, Pak." Reta yang sedang melipat baju dan menumpuknya dengan rapi, dia berhenti dan menatap suaminya yang menoleh menatapnya.

"Bapak belum ada uang, Buk. Bapak lagi kerja di sawahnya Mbah Sura," tutur Marto dengan suara yang begitu rendah dan lembut.

"Sabar, ngih, Buk."

Reta menghela napas dan mengangguk, sebetulnya dia juga hendak berbicara bahwa persediaan beras sudah menipis, tapi tidak sampai hati untuk berkata kepada suaminya yang hanya pulang ketika Dzuhur dan Magrib, salat Ashar pun terkadang hanya bisa dikerjakan di gubuk yang berada di sawah.

Sesekali Marto mengeluh dadanya sakit, punggungnya sakit, kepalanya sakit, pun masih Reta belikan obat, dikerokin, sampai dipijati oleh Arvin saat malam hari. Namun, sayang seribu sayang, Marto sering meremehkan pekerjaan Reta yang hanya di rumah.

"Ibu'e wes maem, durung?" Tanya Marto, dia berbaring dan menjadikan paha istrinya yang baru usai dengan pekerjaan melipat pakaiannya sebagai bantal. {ibunya udah makan, belum?}

"Uwes, Pak. Bareng sampeyan mau." Reta menjawab sembari memainkan rambut Marto yang mulai beruban. Marto hanya terkekeh geli menyadari bahwa dirinya begitu pelupa. {Udah, Pak. Bareng kamu tadi.}

Hingga pukul setengah sepuluh malam dua pasangan suami istri itu masih betah menonton televisi, mereka bersantai, berganti-ganti posisi sambil menikmati kerupuk Puli, kerupuk yang terbuat dari nasi yang diberikan bubuk fermentasi, di jemur, lalu di goreng.

Sesederhana itu mereka, karena memang itu yang bisa mereka dapatkan di tengah-tengah keadaan ekonomi yang seperti jembatan rapuh, sewaktu-waktu bisa runtuh dan jatuh.

Ketukan pintu utama rumah terdengar oleh telinga Reta, wanita itu langsung berdiri dan menekan tombol yang ada di televisi untuk mengurangi volume suara. Marto yang sudah setengah tertidur pun hanya mengintip lewat sela-sela kelopak nan masih terbuka.

"Avin, Avin, Vin?"

Reta menutup mulutnya yang seketika menganga dengan tangan, suara dan panggilan itu, tak mungkin bahwa gadis cerewet itu benar-benar kembali.

Berlari kecil menuju depan dan langsung membuka pintu, Reta dipenuhi keterkejutan melihat gadis berkerudung di hadapannya. "Cai?" Tanya Reta memastikan.

"Iya, ini Cai, Bude." Caily tersenyum begitu manis hingga menunjukkan gigi gingsulnya.

Caily Ayu Nindita, gadis yang sudah angkat kaki dari daerah kelahirannya ini sejak dirinya baru menginjak kelas satu di sekolah menengah pertamanya.

9'Lintang; ArvinWhere stories live. Discover now