"Apa kamu kembali ke Indonesia untuk menemuiku?"

"Menurutmu untuk apa lagi?" Dia menatapku sekilas, "Aku ingin melihatmu langsung dengan mataku, nggak cuma mendengar rekaman suaramu saja. Itu alasan pertama. Alasan kedua aku dan Mbak Mawar memutuskan membuka kembali sekolah musik ayah yang sempat tutup selama kami di Austria."

"Bertemu denganku alasan yang pertama? Kalau seperti itu ceritanya... kenapa... kenapa akhirnya kamu memilih menikahi wanita lain? Bukankah itu artinya kamu juga mencintaiku?" Aku mulai terisak. "Bukannya harusnya kisah cinta kita bisa berakhir bahagia jika saling mencintai?"

"Setahun yang lalu aku mendapat donor mata. Ibunya Falia, dia memberikan matanya untukku saat dia meninggal. Tanpa mata ini pasti saat ini aku nggak bisa melihatmu. Dan untuk bisa melihatmu aku menggadaikan perasaanku. Aku berjanji akan menikahi Falia untuk membalas kebaikan ibu Falia." Rama mengusap lembut air mata yang mengalir di pipiku.

Aku menepis tangannya, "Apa maksudnya? Hhh... kepalaku pusing dengar ceritamu. Aku nggak bisa mencernanya dengan baik. Kenapa harus membuat janji sekonyol itu?"

"Aku nggak punya banyak pilihan, Ta? Tolong mengerti keadaanku saat itu." Tatapannya membuat hatiku seperti kena runtuhan salju.

"Daripada... daripada aku harus melihatmu menikah dengan wanita lain, lebih baik aku saja yang mendonorkan mataku...." Aku menangis sejadi-jadinya, "Kenapa kamu nggak bilang dari awal. Kenapa nggak meminta mataku saja waktu itu? Aku benci sama kamu!"

"Mengambil matamu? Kamu pikir aku tega? Dan kamu nggak bisa melihatku setelah itu selamanya, kamu mau?"

"Ng... seenggaknya aku akan mendonorkan satu mataku untukmu, aku nggak masalah melihat dengan satu mata asal kamu nggak perlu menikah dengan gadis lain."

"Ahaha..." Rama yang sejak tadi tampak serius, kini menatapku dan tertawa. Dia merapatkan tubuhnya ke arahku, menyentuh lembut ujung kepalaku, danaku bersandar di pundaknya sambil masih sesekali terisak.

"Kamu masih bisa ketawa. Apa karena Falia cantik kamu mau menikahinya? Kamu pasti nggak tahu gimana aku tersiksa selama ini membayangkan kamu akan menikah dengan wanita lain. Kamu pasti nggak tahu!"

"Falia mengalami depresi, beberapa kali dia mencoba bunuh diri. Saat aku kembali ke Indonesia dia coba menyayat urat nadinya di kamar mandi. Beruntung dokter masih sempat menyelamatkannya. Kedua orang tuanya pun membawanya ke sini agar aku lebih dekat dengannya. Jika aku nggak menikahinya, aku akan merasa bersalah seumur hidup."

"Bersalah? Dan kamu nggak merasa bersalah padaku?"

"Ta, kalau aku nggak menikahinya aku akan merasa sudah membunuh dua nyawa sekaligus. Falia dan bayinya. Saat itu aku benar-benar nggak bisa berpikir dengan baik. Aku merasa berkat ibu Falia aku bisa bertemu denganmu lagi, melihatmu, meski saat itu aku tahu nggak boleh memilikimu. Itulah mengapa aku memilih tinggal di sebelah apartemenmu supaya aku bisa mellihatmu lebih sering. Tapi di satu sisi aku juga nggak ingin membuatmu mencintaiku, karena aku tahu aku harus meninggalkanmu dan menikahi Falia."

"Tapi ternyata aku jatuh cinta padamu dan kamu tetap akan meninggalkanku?" Aku masih belum bisa memaksa mataku berhenti mengeluarkan air mata.

"Maaf... waktu itu...."

"Aku benar-benar pusing mencerna semua ceritamu! Lalu, apa maksudnya cincin yang kamu berikan tadi?"

"Aku ingin menikahimu."

"Apa? Tunggu! Itu artinya Falia nggak jadi menikah?"

"Dia tetap menikah."

"Terus ngapain kamu melamarku kalau tetap akan menikahinya?" Aku mengangkat kepalaku dari pundaknya.

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang