𝐈𝐕. Approach (2)

150 24 0
                                    

.
.
.

Hujan ditengah hari. Aku menghela nafas, menatap pintu kaca yang berembun. Entahlah apakah itu pertanda buruk atau apa.

Aku masih ingat saat ibu bilang, hujan ditengah hari adalah kesialan. Benar saja, saat aku masih dibangku kelas sebelas—esok harinya ulangan berhitung ku mendapat nilai 7,5. Itu nilai terendah yang pernah ku dapatkan selama pelajaran berhitung.

Jika diingat, aku merindukan suasana itu. Saat keluarga kami masih lengkap. Ayah, ibu, aku, dan adikku.

"Ibu, aku mau ke rumah Gerald, mengerjakan PR!" Danniel berteriak dari teras rumah.

"Tidak perlu! Ibu tau kalian hanya bermain!" Ibu balas berteriak dari taman belakang, menyiram tanaman.

"Ibu, aku benar-benar mengerjakannya!"

"Sekali tidak ya tidak! Ada kakak Ly yang pintar, tanya saja padanya." final ibu.

Aku yang tengah membaca buku refleks mengangkat kepala saat namaku disebut. Menatap adikku yang sedang menatapku balik dengan tatapan kesalnya.

"Tidak mau! Kakak pelit! Lihat saja kertas ulangannya, kakak mendapat nilai 7!"

Adik sialan, dia mengejekku.

"Hei, nilaiku 7,5. Jangan menurunkannya begitu saja!" aku bersungut-sungut.

"Sama saja, aku membulatkan nilainya."

"Nilai 7,5 dibulatkan keatas, dasar payah! Jadi 8!" aku bangkit dari duduk, mengejar adikku yang semakin meledekku. Padahal nilainya jauh lebih buruk daripada aku.

Lalu disana, ayah akan bergabung dengan kami. Kejar-kejaran. Dan ibu juga ikut kedepan, menyaksikan kami berlarian sambil membawa sepiring donat kesukaan kami.

Danniel dulu tingginya hanya sebatas daguku, mudah sekali menangkapnya. Kini dia sudah dewasa, bahkan sekarang lebih tinggi dariku.

"Lyvena," Moza menepuk pundakku. Menyadarkan dari lamunan kilas balik.

"Ada apa?" Aku berbalik, bertanya.

"Direktur utama tiba di studio." ujarnya, berbisik.

"Lalu?"

"Kalau dilihat dari dekat, dia tampan sekali ya." Moza melipat bibir.

"Langsung intinya saja, ada apa?"

"Oke oke, dia mencarimu. Katanya ingin bertemu."

"Bertemu denganku?" aku memastikan.

Moza mengangguk, dagunya menunjuk seseorang di tengah studio. Sedang berbincang dengan Jemmy, pemotret ku.

Terhitung sudah dua hari aku menghindar dari pria itu. Saat ia datang ke apartemen dan ajakan menikah itu. Aku mendorongnya keluar dengan sekuat tenaga, dadaku berdegup kencang saat itu.

Aku menghela nafas, menatap kearah tengah studio. Dia masih berbincang dengan Jemmy, entah apa yang mereka bicarakan. Tapi netra hitam legamnya itu menatap lurus kearahku, sudut bibirnya terangkat. Dia melambaikan tangan.

Dalliance : you own me.Where stories live. Discover now