Prolog: Pelanggan Nomor Satu

2.6K 329 12
                                    

"Mbak Sasa," panggil Bu Aminah saat Sabria melintasi depan rumah beliau dalam perjalanan menuju warung madura di ujung gang untuk membeli telur.

"Dalem, Bu," jawab Sabria seraya menghentikan langkahnya. "Wonten nopo?"

Sebab ibunya yang menjabat sebagai pengurus pengajian RT, sehingga Sasa jadi ketiban ikut akrab dengan ibu-ibu lain di kompleks ini. Tadinya, Sasa sama sekali tidak antusias untuk berbaur dengan gerombolan emak-emak ini sebab beberapa alasan; yang pertama ia sudah kepala tiga. Tentu alasan ini akan terdengar lebih masuk akal jika diikuti dengan alasan kedua, yaitu ia masih jomlo sejak putus dari situationship-nya selama beberapa tahun dengan seorang pria yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Melbourne. Kombinasi dua faktor itu biasanya menjadi sasaran empuk ibu-ibu kompleks untuk dijadikan bahan gosip, namun Sabria dengan cukup mengejutkan berhasil lolos dari jeratan tersebut sebab ia sering membagikan kue hasil kreasinya saat libur kerja.

Bermula dari sebuah postingan di X tentang hidup produktif, Sabria jadi terpikir untuk mencari hobi di sela-sela kesibukan kerja agar tidak merasa kesepian meski melajang. Setelah mencoba beberapa macam hobi; mulai dari melukis, merajut, menjahit, hingga yang melibatkan aktivitas fisik seperti panjat tebing dan komunitas yoga, Sabria menjatuhkan pilihan pada membuat kue, sebab untuk pertama kali ia merasa berhasil hanya karena ia mengikuti petunjuk yang diberikan secara serius. Memasak juga tidak kalah seru, tetapi ia sering kali kesulitan saat dihadapkan dengan takaran 'secukupnya'. Seberapa cukup 'secukupnya' itu? Faktor ini senantiasa jadi penghalang kesuksesan Sabria dan membuat rasa masakannya jadi tak pernah memuaskan. Tetapi, tidak demikian dengan membuat kue. Meski ada juga kata 'sejumput' di resepnya, tetapi masih merupakan sebuah ukuran dibanding 'secukupnya', sehingga Sabria masih dalam batas aman.

Sebab ia hanya tinggal berdua dengan ibunya, karena kakak dan adik Sabria tinggal terpisah dari mereka, setiap kali Sabria praktik membuat kue akan selalu ada hasil olahan yang tersisa dan tidak habis dimakan. Setengah loyang cake Opera, senampan kue mangkuk, dua toples soft cookies, dan masih banyak hasil percobaan lain, sehingga ibu menyuruh Sabria membagi-bagikan ke tetangga. Dari sanalah, perlakuan ibu-ibu kompleks terhadapnya perlahan-lahan mulai berubah. Bahkan, beberapa orang ibu memesan kue pada Sabria untuk acara arisan atau kumpul keluarga.

"Hari Selasa besok Ibu mau pesan roti cokelat kayak yang kemarin itu, ya, buat dibawa mudik habis salat ied," cerocos Bu Aminah. "Anak-anak pada suka."

Yang dimaksud beliau dengan 'anak-anak' adalah cucu dan keponakan Bu Aminah di kampung halaman. Sebagai seseorang yang terlahir di keluarga besar, Bu Aminah memiliki banyak saudara, itu sebabnya beliau tak pernah lupa membawakan oleh-oleh untuk mereka. Karena Sabria sering membagikan kue-kue buatannya ke tetangga, Bu Aminah yang tertarik pada kuenya, memutuskan memesan kue tersebut untuk dibawa mudik. Tidak disangka, anak-anak kecil keponakan dan cucu beliau berebut kue buatan Sabria bahkan salah satunya sampai menangis karena tidak kebagian. Dari sanalah, yang tadinya hanya pesan satu loyang, bertambah menjadi dua, lalu tiga. Sebab banyaknya saudara, Bu Aminah juga jadi sering pulang; entah menghadiri acara pemakaman, pengajian seratus hari atau seribu hari kerabatnya, hingga acara pernikahan atau kelahiran bayi. Semakin sering Bu Aminah menghadiri acara keluarga, semakin banyak juga pesanan kue Sabria.

"Bisa Bu," jawab Sabria. "Sekalian saya ke warung, saya lebihkan beli telurnya untuk bikin kue pesanan Panjenengan. Mau berapa kotak Bu?"

Bu Aminah terdiam sejenak untuk berhitung, sebelum mengatakan, "Lima, Mbak."

Sabria sedikit terkejut dengan ucapan Bu Aminah. "Kok tumben banyak, Bu?"

"Biar nggak rebutan, Mbak. Masa rumah jadi rame gara-gara anak-anak nangis rebutan roti cokelat. Bisa kan, Mbak?"

Sabria mengangguk, "Bisa, Bu. Besok saya antar ke pas malam takbiran, ya?"

"DP berapa?"

Sabria menggeleng pelan, "Nggak usah Bu, besok aja. Tapi mungkin harganya naik 2-3 ribu karena harga telur sekarang 28 ribu sekilo, nggak apa-apa, Bu?"

Seraya mengibaskan tangan, Bu Aminah menjawab, "Iya, nggak apa-apa, wajar segitu Mbak. Kemarin aja saya kaget pas belanja ke pasar bawa seratus ribu cuma dapat bumbu-bumbu aja sama tempe tahu. Bawang putih itu juga naik lho, Mbak. Yawes, besok tak tunggu di rumah, ya."

"Nggih, Bu, saya mau ke warung beli telur dulu."

Dalam hati, Sabria mencatat bahan apa saja yang tersedia di rumah dan yang perlu ia beli untuk membuat kue cokelat pesanan Bu Aminah. Karena kali ini beliau pesan lima kotak, yang berarti lima loyang, sepertinya Sabria harus membeli dua kilo telur lagi jika mau menghitung total bahan untuk kue kering yang akan ia buat untuk suguhan tamu, dan tambahan pesanan dadakan dari pelanggan nomor satunya.

***
Selamat hari raya Idulfitri 1445 H teman-teman! Mudik ke mana kalian? Semoga selamat sampai tujuan dan kembali lagi, ya. Saya mengunggah cerita ini untuk menemani libur lebaran kalian karena saya nggak mudik, jadi ada waktu senggang buat nulis. Mari diramaikan cerita ini agar saya tidak kesepian-kesepian amat.

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.
Jodoh di Tangan Bu RTМесто, где живут истории. Откройте их для себя