Case 8: Dendam

5 1 0
                                    

Waktu istirahat telah tiba, namun aku tidak membuang waktu dan langsung berlari menuju kelas Ally, memanfaatkan kesempatan sebelum dosen masuk.

"Maaf, Ally ada di sini?" tanyaku sambil melangkah masuk ke dalam kelas.

Ally segera mendekatiku, dan tanpa menunggu, aku menggandeng tangannya dan menariknya untuk segera pulang.

"Ada apa, Renald? Kenapa tiba-tiba?" tanyanya dengan kebingungan sambil melepaskan genggaman tanganku.

"Nyawa kedua orangtuamu terancam," jawabku dengan serius.

"Apa?!"

Sesampainya di rumah, aku melihat bayangan yang melesat keluar dari rumah. Tanpa ragu, aku mengeluarkan belatiku dan melemparkannya ke arah bayangan tersebut.

Belati itu menancap di perutnya, namun bayangan itu masih mencoba melarikan diri meski kesakitan.

"Tidak ada waktu, Ally. Tekan belati itu lebih dalam!" seruku sambil menggendong Ally dan melemparkannya ke arah bayangan itu.

Ally menindih bayangan itu dan melakukan seperti yang kuperintahkan, sementara aku bergegas masuk ke dalam rumah.

Di dalam, aku menemukan pedagang dan istrinya tergeletak sekarat dan berlumuran darah. Aku langsung berusaha menghentikan pendarahan pedagang itu terlebih dahulu.

"Louis, aku lengah. Maafkan aku," kataku sambil berusaha menghentikan pendarahannya.

"Tuan Hielf, maafkan saya telah merepotkan Anda lagi. Bisakah Anda memenuhi permintaan terakhir saya?" ucap pedagang dengan suara lemah.

Ally muncul di pintu, matanya berkaca-kaca melihat aku berusaha menyelamatkan ayahnya.

"Bisakah kau menjaga putriku, Ally, untukku?" pinta pedagang dengan suara yang hampir tak terdengar.

Air mata Ally jatuh, dan dia memeluk ayahnya erat-erat.

"Ayah! Kenapa ini harus terjadi? Kenapa?!"

"Ally, putriku, ada yang ingin kukatakan padamu sebelum aku pergi..."

Sementara itu, aku keluar untuk memastikan nasib bayangan yang menyerang mereka. Bayangan itu mencoba melarikan diri meski terluka parah. Aku melompat ke arahnya dan berhasil melumpuhkannya.

"Kau di sini atas perintah 'Codename Zero'?" tanyaku sambil mengunci tangannya.

Tanpa ragu, orang itu menelan racun yang disimpannya di mulut.

"Muntahkan racun itu!" teriakku sambil memukul lehernya berulang kali, namun racun yang kuat itu tetap akan merenggut nyawanya.

Tak lama kemudian, polisi datang dan membawa aku dan Ally untuk investigasi lebih lanjut.

Aku teringat, di kota pembunuh, masih ada satu pembunuh yang lolos dariku, Codename Zero. Aku yakin dia adalah pemimpin dari 69 pembunuh lain yang mencoba menyerangku, dengan Freddy sebagai tangan kanannya.

Langkah pengecut, mencoba memojokkanku dengan menghabisi orang-orang di sekitarku.

***

"Anak muda, sepertinya aku perlu memberitahumu sesuatu," kata seorang pria misterius yang mengikutiku.

Aku hanya diam.

"Kau yakin mau membiarkan anak kecil itu hidup? Dia sekarang penuh dengan dendam."

"Itu tujuanku. Aku ingin melihat bagaimana dia berkembang dan mencoba menghancurkanku."

"Kau memang menarik, Anak muda."

***

"Bajingan itu, awas saja suatu saat nanti, akan kupastikan kau menderita dan merasakan neraka yang lebih kejam daripada ini!"  teriak anak kecil itu sambil meratapi kepergian kakak perempuannya.

###

Inilah awal kisahku, sebelum pembunuh itu meratakan kampung halamanku.

Aku adalah anak yatim piatu, tanpa siapa pun di sisiku, kecuali kakak perempuanku, Aria, yang selalu ada untukku, menggantikan kasih sayang orangtua kami.

Ayahku, seorang pria yang keras namun penuh cinta, selalu berkata bahwa ibu adalah jiwa desa kami. Dia sering duduk di samping tempat tidur ibu, menggenggam tangannya yang lemah, dan berbisik kata-kata yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang saling mencintai. "Kau adalah alasan aku bangun setiap pagi," katanya dengan mata berkaca-kaca, "dan aku akan melakukan apa saja untuk melihatmu tersenyum lagi."

Ketika ibu jatuh sakit, ayah menjadi bayang-bayang dari dirinya yang dulu. Cahaya di matanya memudar, namun harapan tetap ada. Setiap hari, ia mencari obat dan ramuan, berharap menemukan sesuatu yang bisa menyembuhkan penyakit misterius yang merenggut kekuatan ibu.

Kakak perempuanku, Aria, yang telah menjadi pilar kekuatan di rumah kami sejak ibu sakit, berdiri teguh ketika ayah bekerja.

Pada suatu saat, ketika badai yang sangat kencang. "Ayah, tolong jangan pergi. Badai itu bisa membunuhmu," katanya dengan suara gemetar. "Kita akan menemukan cara lain. Kita selalu melakukannya."

Namun, ayah hanya menggelengkan kepalanya dan memeluk Aria erat-erat. "Aku harus pergi, anakku. Cinta sejati adalah tindakan, bukan hanya kata-kata," katanya. "Dan tindakanku adalah untuk ibumu, untuk kita semua."

Badai telah berlangsung selama berhari-hari bahkan sebelumnya, kondisi ibu yang begitu menyedihkan membuat ayah mau tidak mau harus pergi mencari tanaman obat di puncak gunung yang dirumorkan bisa menyembuhkan penyakit ibu.

Dengan lampu minyak yang berkedip-kedip di tangannya dan mantel yang sudah usang, ayah melangkah keluar ke dalam badai yang mengamuk. Itulah terakhir kalinya kami melihatnya, siluetnya yang tegap menghilang di balik tirai hujan yang tak henti-hentinya.

Kabar duka tiba bahwa ayah telah gugur karena tanah longsor di tebing Gunung Azura, Aria dan aku hanya bisa berpelukan dalam diam. Ibu, yang telah berjuang melawan penyakitnya, akhirnya menyerah pada malam yang sama, meninggalkan kami dalam kesedihan yang tak terkatakan.

Aria, meski masih muda, mengambil alih peran sebagai kepala keluarga. Ia mengajarkanku untuk berani dan kuat, seperti yang telah diajarkan ayah kepada kami. "Kita akan melewati ini bersama-sama," katanya sambil mengusap air mata dari pipiku.

Kasih sayang Aria terhadapku tak pernah luntur. Ia akan menghabiskan malam-malam panjang untuk menceritakan kisah-kisah tentang petualangan ayah di hutan atau bagaimana ibu selalu menertawakan lelucon ayah yang tidak lucu. "Ibu selalu bilang, 'Cintamu adalah lelucon terbaik yang pernah kudengar,'" kata Aria dengan senyum yang pahit.

Aria sering menceritakan kisah tentang ibu dan ayah kami. "Ibu selalu tertawa saat ayah mencoba menari," katanya sambil menirukan gerakan kaku ayah dengan ekspresi lucu di wajahnya, membuatku tertawa terbahak-bahak. "Dan ayah selalu mengatakan bahwa ibu adalah bunga terindah di kebun kita," lanjutnya, sambil menunjuk ke kebun kecil di belakang rumah kami yang kini hanya ditumbuhi oleh rumput liar.

Ketika aku berjanji akan menjaga Aria sampai ia menikah, ia hanya tersenyum dan mengusap kepala aku dengan lembut. "Kau adalah adik terbaik di dunia, Kiran," katanya dengan mata yang berbinar.

Namun, semua kenangan indah itu hancur ketika pembunuh itu datang.

Pembunuh itu, dengan tatapan dingin, bertanya mengapa aku menangis. "Aku sangat menyayangi kakakku, dan kau memaksaku untuk membunuhnya," jawabku dengan suara yang tercekat.

"Apakah suatu saat kau akan mencoba untuk membunuhku?" tantangnya.

Setelah ia pergi, aku berdiri di samping tubuh Aria yang tak bernyawa, berjanji dalam hati bahwa aku akan membuat pembunuh itu membayar. Aku akan mengumpulkan kekuatan, belajar seni bertarung, dan mengejar keadilan. Aku akan menjadi bayangan yang akan menghantui setiap langkahnya, sampai saatnya tiba untuk aku membalaskan dendam keluargaku.

Pencarian TerakhirWhere stories live. Discover now