Case 1: Si Bapak Pengemis

22 1 0
                                    

Di sudut kota yang ramai, bisikan-bisikan terdengar di antara kerumunan. "Sssttt!! Jangan keras-keras, nanti dia dengar loh!" bisik seorang wanita dengan hati-hati.

"Memangnya kenapa? Orang kaya memang pelit, terutama dia!" sahut temannya dengan nada penuh kecaman.

"Dia tidak punya hati. Selalu menolak membantu kita yang miskin," tambah wanita lain dengan rasa frustrasi.

"Benar sekali. Bahkan saat tetangganya mengalami kecelakaan, dia tidak bergerak sedikit pun untuk membantu. Kita ini seperti debu di matanya," ujar yang lain, mengangguk-angguk.

Pria yang menjadi sasaran cemoohan itu berjalan melewati mereka, seolah tak terpengaruh. "Inilah mengapa aku benci orang miskin," gumamnya dalam hati. "Seenaknya saja menyimpulkan, mereka pikir mereka siapa?"

Tak lama kemudian, matanya tertuju pada seorang pengemis yang duduk beberapa meter di depannya. "Orang itu menarik," pikirnya.

Dia mendekati pengemis itu. "Pak, kapan terakhir kali Bapak makan?"

"Baru saja tadi," jawab pengemis itu dengan suara serak.

"Tidak usah berbohong, Pak. Saya tahu warga di sini kejam dan egois. Bapak tidak perlu berbohong demi saya."

Pengemis itu mendengus. "Untuk apa aku berbohong? Aku melakukannya demi diriku sendiri."

Pria itu mengeluarkan sepotong roti. "Bapak mau bekerja untuk mendapatkannya? Aku akan memberikan potongan harga."

"..." pengemis itu terdiam sejenak.

"Bapak tidak suka mengemis, kan? Saya tawarkan pekerjaan di tempat saya."

Mereka berdua berjalan bersama. "Asal kau tau, aku bukan pengemis," ucap pengemis itu.

"Aku tahu, Pak. Tapi kenapa Bapak ikut denganku?"

"Aku lebih suka Bapak daripada bajingan lain di kota ini."

Pengemis itu tersenyum sinis dengan wajah datarnya. "Aku tidak bohong tadi. Warga di sini benar-benar memberiku makan. Aku tidak tahu mengapa."

"Tapi Bapak membuangnya, kan? Makanan itu beracun."

"Roti yang kau beli juga mengandung bahan adiktif, bukan?"

Pria itu tertawa kecil. "Roti ini mengandung narkoba. Aku akan memberikannya kepada pengemis lain nanti."

Malam itu, mereka berencana meninggalkan kota. "Kau maksudkan aku yang harus pergi, kan?"

Mereka sampai di rumah yang megah. "Rumahmu indah, Pak. Tidak heran mereka ingin menyerangmu malam ini."

"Bantu aku merakit bom, Pak."

"Dengan senang hati."

Di ruang tamu, pria itu mendengar teriakan massa. "Usir dia dari kota!"

Dia hanya tersenyum. "Untuk apa pisau dan senjata di tangan kalian?"

"..." massa terdiam.

"Lakukan saja sesuka kalian."

Pengemis itu, yang sebenarnya bukan pengemis, berdiri di pintu keluar kota. Ia menoleh sekali lagi ke rumah pria itu, lalu melangkah keluar.

Tiga langkah kemudian, ledakan besar terjadi. Rumah pria itu meledak, membunuh semua yang ada di sekitarnya dan melukai seluruh kota. Lumbung pangan pun ikut terbakar.

Pengemis itu, satu-satunya yang tidak terluka, berdiri dengan koper di tangannya, menatap ke arah yang telah ditinggalkannya.

***

"Pak, di dalam koper ini ada informasi yang Bapak perlukan untuk diterima kembali," kata sang pemilik rumah, menyerahkan nasibnya ke tanganku.

"Tapi kenapa kau melakukan ini semua?"

"Tugasku di sini hampir selesai, dan aku tidak punya tujuan lain."

"Hidupmu terlalu singkat dan menyedihkan, Nak."

"Aku tahu, Pak. Ini adalah dosa yang harus kutebus. Suatu hari Bapak juga akan menebus dosa Bapak."

"..." pengemis tersebut terdiam.

"Aku menendangmu keluar dari rumah ini, pergilah sekarang," ucap sang pemilik rumah.

=== END OF CHAPTER ===

Author di sini mau ngasih tau nih, ada 2 tanda yang membagi setiap segmen cerita (lebih tepatnya transisi)

Tanda *** berarti bahwa segmen cerita dilewati/diganti

Tanda ### berarti adanya pergantian sudut pandang karakter atau flashback

Pencarian TerakhirWo Geschichten leben. Entdecke jetzt