Yang Terbaik

9 3 0
                                    

Sae menatap datar pantulan dirinya di cermin. Rasa menyesal hinggap di hatinya karena memutuskan ikut bermain hujan. Memang, Aiku dengan baik hati meminjamkan Sae bajunya, tetapi selera berpakaiannya Aiku itu ... unik. Yang pasti tidak selaras dengan seleranya Sae. Taruna itu mencoba apatis saja kali ini, toh hanya untuk sementara, sampai bajunya kering.

"Weh, keren, Dek!" Aiku mengacungkan jempol saat Sae kembali dari kamar mandi. Entahlah yang dipuji Sae atau baju yang Sae pakai. Sae sendiri hanya membalas dengan senyum masam, tidak tahu harus berkomentar apa lagi.

Taruna itu lebih mementingkan pemilik kamar yang tidak ada di tempat, celingak-celinguk. "Bocahnya ke mana?"

"Ikki lagi ke bawah bentar. Katanya mau cek baju kamu udah kering atau belum," terang Aiku.

Kening Sae mengkerut. "Kan tinggal minta tolong pembantunya. Ngapain dia repot-repot ke bawah?" Ia ingat betul, yang menyambut mereka memang hanya seorang wanita paruh baya, tetapi saat melewati dapur, ada banyak pembantu di sana, mungkin sedang menyiapkan makanan untuk berbuka. Oh, jangan lupakan dua pria yang duduk-duduk di halaman depan.

Aiku tertawa lebar mendengar pertanyaan Sae, kentara sekali ada nada sindiran di sana. Masih dengan senyum lebar, Aiku menjawab, "Meski orang tuanya bayar banyak orang buat ngurus rumah plus jagain dia, tapi Ikki anaknya mandiri lho, Dek."

Kedua alis Sae terangkat, ia mengambil posisi duduk di sebelah pintu kamar, berhadapan dengan Aiku. "Abang emang udah kenal deket, ya?"

Di luar dugaan, Aiku menggeleng. "Saya baru tahu Ikki, pas saya mulai jadi sopir jemputan di sekolah itu. Itu pun butuh dua pekan sampe saya gak canggung pas ngobrol sama dia," paparnya. Aiku tersenyum geli melihat ekspresi aneh Sae, "pendiam sih iya, tapi bukan berarti gak bisa diajak ngobrol, Dek."

Sae mengusap tengkuknya. Mau bagaimana lagi? Jelas saja Sae tidak percaya. Lebih-lebih ia sempat mengira Ikki benaran bisu saat masih di angkot tadi. Terbiasa dengan Rin yang suka bercerita banyak hal, didukung Yoichi dan Meguru yang rusuhnya luar biasa, Sae selalu berpikir normalnya anak kecil itu, banyak bicara. Ikki adalah sebuah abnormal baginya.

"Anak itu, dasarnya memang pendiam, sudah begitu tidak ada teman mengobrol. Ikki benar-benar dibentuk sebagai anak rajin, dia hanya tahu soal belajar, belajar, belajar, makanya ...." Aiku memutus kalimatnya sendiri, tersenyum canggung.

Tidak peka dengan Aiku yang merasa tidak enak jika menyebutnya dengan terus terang, Sae melanjutkan, "Dia gak punya teman?"

Aiku meringis tipis, mengangguk. Tatapnya tertuju pada berbagai sertifikat dan piala dari olimpiade yang berjejer di lemari kaca sebelah ranjang. "Sampai kelas empat, Ikki gak pernah berkomunikasi sama siapa pun. Bukan gak pernah bicara juga sih ... tapi, dia mengeluarkan suara memang hanya saat diperintah orang tuanya aja." Aiku melanjutkan ceritanya. "Saat jam pelajaran dan gurunya mengajukan pertanyaan, Ikki menjawab karena orang tuanya bilang itu bisa menambah nilai. Saat bertemu dengan kenalan-kenalan orang tuanya, dia memperkenalkan diri. Tapi selebihnya ... seperti yang kamu lihat tadi."

Alis Sae bertaut mendengar kisah bocah pendiam itu. Meski Sae sendiri kurang suka berbasa-basi dan berbicara banyak, tetapi Sae mengakui ia amat butuh bersosialisasi. Bagaimana anak itu menjalani hidup? Tidak streskah?

"Alhamdulillah, wali kelasnya di kelas 5 ini sangat pemerhati. Wali kelasnya mengajak bicara orang tua Ikki, soal pentingnya bersosialisasi dan semacamnya. Setelah itu, barulah orang tuanya memutuskan untuk mencari pembantu."

Sae refleks memotong cerita, "Lho, para pembantu enggak dipekerjakan dari lama?"

"Enggak, makanya kan, saya bilang dia mandiri." Aiku terkekeh melihat ekspresi terkejut Sae. "Saya bahkan kenal Ikki duluan dibanding para pelayan di sini. Soalnya saya udah jadi sopir di sekolah itu sejak Ikki kelas 2."

𝗟𝗔𝗡𝗚𝗞𝗔𝗛 𝗛𝗜𝗗𝗨𝗣 𝗜𝗧𝗢𝗦𝗛𝗜 𝗦𝗔𝗘: 𝗠𝗘𝗡𝗖𝗔𝗥𝗜 𝗔𝗣𝗔?Where stories live. Discover now