Orang Pintar

21 2 1
                                    

Sae tidak serta-merta memutuskan untuk kabur. Tentu ia memikirkan berbagai kemungkinan buruk, apalagi uang sakunya tinggal selembar kertas warna ungu. Nah, tahukah kalian, ada masa di mana manusia sebenarnya sudah menetapkan satu pilihan, tetapi kemudian mendatangkan sendiri segala keraguan sebagai tahap akhir dari penentuan; apakah benar-benar yakin dengan pilihan pertama kita?

Pemikiran sendiri jelas berpengaruh, tetapi bisa jadi ada faktor x, sebuah faktor misterius yang datangnya dari Yang Maha Kuasa.

Maka saat itu, saat Sae bangun jam setengah tiga dini hari, termenung di atas ranjangnya, tidak butuh lima menit untuk membulatkan tekat. Ia letakkan sticky notes berisi pesan singkat untuk Kenyu di atas nakas--yang sebenarnya sudah ia siapkan dari semalam--mengambil ransel yang hanya berisi dompet dan ponsel, lalu pergi ke dapur asrama tanpa suara.

Para koki memang bangun lebih pagi, tetapi jelas tidak sepagi ini. Sae sudah memperhatikan, koki asrama hanya menghangatkan makanan untuk sahur, jadi mereka bangun sekitar jam setengah empat, tanpa harus buru-buru menyiapkan makanan. Intinya, dengan mudah, Sae menyelinap ke dapur asrama. Ia mencomot tiga butir kurma dari kulkas, dan minum segelas air.

Selesai sudah sahurnya hari ini. Sae bergegas keluar dari gedung asrama, pergi ke bagian kiri lingkungan sekolah. Yang ini juga sudah ia selidiki kemarin, saat meninggalkan Kenyu sendiri di kamar. Sisi kanan dan kiri sekolah tidak diawasi kamera pengawas, entah karena dirasa aman atau karena kurang dana. Masa bodohlah soal alasannya, yang terpenting bagi Sae, hal ini jadi memudahkannya untuk kabur.

Maka, tanpa keragu-raguan dan pikir panjang lagi, Sae melompati dinding itu.

[][][]

Sae menggaruk belakang kepala, celingak-celinguk macam anak hilang, tersesat, terpisah dari orang tuanya. Beginilah, setiap punya rencana selalu saja setengah-setengah, sudah cukup jauh dari sekolah, baru Sae berpikir ia harus ke mana. Sudah begitu, dia tidak terpikir satu tempat pun pula. Yah, berharap apa sih dari seorang Itoshi Sae? Memang paling benar, berharap itu hanya kepada Allah.

Taruna ini baru saja selesai Shalat Subuh berjamaah di masjid, dan kini ia berdiri diam memperhatikan sekitar. Orang-orang yang keluar dari masjid menyebar ke mana-mana, arah rumah mereka berbeda-beda. Hal ini membuat Sae mendapat ide cemerlang; ikuti saja orang yang kelihatannya menarik untuk diikuti, siapa tahu tempat yang dituju juga tepat untuknya beristirahat dan berbuka nanti.

Siapa pun tolong sadarkan taruna ini agar tidak memilih jalan yang hanya akan menyusahkannya.

"Berangkat sekolah, Dek? Pagi bener." Suara khas abang-abang membuat atensi Sae teralihkan. Didapati seorang pemuda yang agaknya baru memasuki kepala dua tengah berdiri di sebelahnya, berkacak pinggang. Kaos putih dan celana cingkrang, lengkap dengan handuk kecil yang disampirkan di bahu, khas sopir angkot--begitu pikir Sae.

"Bukan, Bang. Saya malah baru mau pulang dari sekolah," terang Sae. Kentara sekali raut wajah pemuda itu heran dengan jawabannya, Sae pun buru-buru menambahkan, "Sekolah saya asrama. Karena dua pekan lagi udah mau lebaran, jadi saya diberi izin buat pulang."

Si pemuda mengangguk-angguk sambil ber-oh pelan. "Tinggal di mana, Dek? Butuh transportasi? Bisa naik angkot saya, tuh." Ia menyengir lebar, menunjuk angkot merahnya yang terparkir di depan warteg seberang sana.

Ternyata benaran sopir angkot, sudah begitu lancar betul pula promosinya. Dipikir lagi, sepertinya niat awal pemuda ini menghampiri Sae karena memang hendak mencari penumpang.

Namun, kontras dengan wajah cerah ceria si pemuda, Sae menggeleng dengan wajah sendu. "Maaf, Bang. Rumah saya jauh, uang saya tinggal sepuluh ribu. Enggak dulu, deh," tolaknya sehalus mungkin.

𝗟𝗔𝗡𝗚𝗞𝗔𝗛 𝗛𝗜𝗗𝗨𝗣 𝗜𝗧𝗢𝗦𝗛𝗜 𝗦𝗔𝗘: 𝗠𝗘𝗡𝗖𝗔𝗥𝗜 𝗔𝗣𝗔?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang