Pesan yang Tak Dihiraukan

59 3 0
                                    

Ting!

Tanda ada pesan baru yang masuk. Pesan itu, pengirimnya sama, isinya juga tak jauh beda, tetapi  tidak pernah absen. Setiap pagi selalu dikirimkan, meski tidak dibaca, apalagi dijawab.

Bagaimanalah mau dijawab? Orang yang dituju pura-pura tuli, sok sibuk dengan buku-buku di depannya--padahal dibaca barang satu kata saja tidak. Sementara yang duduk di meja sebelah, malah curi-curi pandang pada ponsel yang tidak kunjung diambil oleh si pemilik.

"Sae, diliat dulu itu--"

"Lu gak liat gua lagi sibuk?" potong Sae, masih sambil membalik-balik halaman buku pelajaran.

Si teman; Yukimiya Kenyu, hanya bisa mengembuskan napas pelan. Namun, dia bisa apa? Sudah sejak tahun pertama teman sekamarnya bersikap begini, Kenyu sudah biasa. Meski dalam hati, Kenyu kontra dengan segala keputusan Sae.

Masih segar di ingatannya, saat Sae berbohong pada sang adik tahun lalu, "Tahun pertama, gak dibolehin pulang. Abang harus tetep di asrama."  Begitulah yang Sae katakan, padahal tiga meter di belakangnya, Kenyu  tengah menggendong tas besar dan menenteng satu tas kecil, sudah siap pulang ke rumah. Pada akhirnya, tahun kemarin, setelah berdebat kecil, Sae menjalani lebaran di rumah Kenyu.

Lalu, tahun ini ... entahlah. Dengan sikap Sae, Kenyu tahu taruna berwajah datar itu berniat tidak pulang lagi, tetapi jelas Kenyu tidak mau membiarkan itu terjadi.

Kenyu mulai memasukkan tumpukan bukunya, dimulai pelajaran sejarah--yang paling tebal. "Sae, ini udah hari Sabtu, lusa anak-anak udah pada balik, termasuk gua. Coba lu pikirin lagi--"

"Gua gak mau, Ken." Lagi-lagi Sae memotong ucapan teman sekamarnya.

Kalau saja tidak lagi puasa, kalau saja sang ibu tidak rajin membacakannya ayat 153 di surat Al-Baqarah, kalau saja sang ayah tidak terus mengingatkannya hadist "janganlah engkau marah, maka bagimu surga", mungkin Kenyu sudah mengacak-acak wajah datar Sae sejak tadi. Sungguh, dilihat dari sudut pandang mana pun, Kenyu tidak bisa memahami cara pikir Sae.

"Lu tenang aja. Tahun ini gua stay di asrama, kok. Jadi gak bakal ngerepotin lu lagi," tambah Sae, tanpa menatap Kenyu, tanpa berusaha peka kalau temannya tengah setengah mati menahan jengkel.

Kenyu kembali mengembuskan napas. "Bukan masalah itu. Gua gak ngerasa direpotin sama sekali, keluarga gua juga malah seneng gua bawa temen. Yang gua permasalahkan itu, keluarga lu, Sae. Mereka pasti nunggu lu pulang, mereka pasti kangen sama lu, mereka mau denger cerita-cerita lu," papar Kenyu, berusaha merendahkan intonasi, berbicara selembut mungkin.

Kekeh pelan lolos dari labium Sae. Taruna itu beranjak berdiri, kemudian melangkah meninggalkan kamar. "Emang gua bisa bawa cerita apa ke mereka, Ken?" tanyanya sebelum menutup pintu kamar, meninggalkan Kenyu sendiri.

Kenyu menendang kursi yang tadi Sae duduki. "YA CERITA APA KEK?! CERITA KALO LU KERJANYA BERANTAKIN KAMAR, NGEREPOTIN GUA, BIKIN GUA KESEL. BANYAK YANG BISA LU CERITAIN, ITOSHI SAE!"

Meledak sudah seorang sabar, Yukimiya Kenyu. Agaknya, ujian terbesar bagi Kenyu adalah, memiliki teman seperti Itoshi Sae. Bukannya Kenyu tidak paham apa keresahan Sae sampai tidak mau pulang, Kenyu amat paham, karena ia juga merasakan apa yang Sae rasakan. Bedanya, sikap yang mereka ambil berseberangan. Kenyu yang dapat legawa, dan Sae yang uring-uringan sendiri.

Ting!

Kenyu menoleh. Ponsel Sae ternyata ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Kenyu terdiam beberapa saat, menimbang-nimbang.

Terabas ajalah. Kenyu mengambil ponsel Sae, dengan mudah membukanya--tidak ada kata kunci sama sekali. "Ya Allah, maafkan hamba-Mu yang banyak dosa ini. Saya tidak berniat buruk ya Allah, saya mencoba membantu," gumam Kenyu. Meski tadi ia amat yakin, tetapi membuka ponsel orang lain tanpa izin begini, ia jadi merasa berdosa.

𝗟𝗔𝗡𝗚𝗞𝗔𝗛 𝗛𝗜𝗗𝗨𝗣 𝗜𝗧𝗢𝗦𝗛𝗜 𝗦𝗔𝗘: 𝗠𝗘𝗡𝗖𝗔𝗥𝗜 𝗔𝗣𝗔?Where stories live. Discover now