IV. Bertahan dan Berusaha

90 17 11
                                    

Meskipun cuaca diluar tampak panas, tapi Maira dan Gema merasakan rumahnya sangat dingin. 

Entahlah, sejak kejadian ulang tahun Arka— semuanya tampak berbeda. 

Gema seharusnya mengerti bagaimana Maira terhadap pekerjaannya. Dan Maira juga seharusnya paham bahwa ada seorang putra yang selalu menunggunya pulang. 

Hari ini adalah hari minggu. Gema dan Maira jelas akan berada dirumah, bersama Arka. Menemani Arka belajar dan bermain, atau sekadar bermalas-malasan bersama. 

“Mami,” suara kecil dan lembut itu menyapa Maira yang tengah mencuci piring dan gelas, Gema dengan sigap berlari menuju dapur. 

“Arka, Maminya lagi cuci piring dulu. Arka main sama Papi, ya?” Maira yang kini berbalik kebelakang menatap pada bungkusan ditangan Arka. 

“Dia pengen dibukain bungkusannya kali… Pi..?” Mendengar akhir kata yang diucapkan Maira, membuat Gema sedikit tersenyum dan tersipu. Ia lalu menggendong Arka dan segera mengambil sebungkus makanan ditangan Arka. 

“Oh ya? Arka mau dibukain ini ya— Mi? Papi bukain sebentar ya!” Ucap Gema semangat dan hal itu membuat Maira menghangat seketika. 

Apakah Gema telah memaafkannya kali ini? 

Maira berharap iya. 

**

Maira dan Gema menghabiskan waktu bersama sang putra. Ketiganya makan bersama, bermain lego dan mewarnai bersama. Tidak lupa, sebagai penutup malam hari, mereka menonton serial kartun kesukaan Arka. Dengan Arka ditengah-tengah, tangan Maira memeluk putranya.

Gema yang menyadari hal tersebut ikut bergabung, menumpangkan telapak tangan besarnya diatas tangan Maira, mengusap tangan istrinya dengan lembut, cincin pernikahan mereka bersentuhan kembali— setelah sekian lama

Maira tersenyum, ia menggenggam tangan suaminya, menundukkan kepalanya lalu mencium punggung tangan Gema dengan sedikit lama. Dan Gema merasakan punggung tangannya basah, Maira menangis diatas punggung tangannya. 

Pada punggung tangan Gema seluruh bakti Maira terletak disana. Seluruh kasih sayang dan titik kehormatan Maira ada diatas sana. Dan ia sadar bahwa bakti dan kehormatan kepada Gema telah ia gores dengan sendirinya. 

Gema terkejut, namun tangan kirinya dengan sigap mengusap rambut Maira dengan lembut, Gema dengan segera membuat Maira menatap kearahnya. 

“Maaf.. maafin aku..” ucap Maira pelan, Gema mengangguk dan tak bisa membendung air matanya lagi, ia menangis melihat mata Maira yang sembab dan pipi Maira yang basah. 

Tangan masih digenggam, Gema juga mencium tangan Maira— berkali-kali. 

“Maafin aku juga, Mai..” Gema berucap sambil berpindah posisi untuk ada dihadapan Maira, malam ini keduanya berpelukan dengan erat. 

**

Hari Senin. 

Setelah semalam mereka berpelukan kembali, ada rasa dan gejolak aneh yang Maira rasakan ketika melihat Gema dihadapannya. 

Padahal, beberapa kali Maira merasakan mati rasa hingga kupu-kupu diperutnya enggan untuk berterbangan kembali. Namun, apa artinya ini semua? Pipinya bersemu merah kala ia diminta Gema memasangkan dasinya, lalu mereka tidak sengaja bertatapan.

“Pulang jam berapa, Mai?” Tanya Gema yang kini merapikan rambut Maira. 

“Kamu mau aku pulang cepet?” Maira berbalik tanya, Gema menggelengkan kepala. 

“Jam berapapun itu, kasih tau malam nanti kamu mau makan apa. Aku—” ucapan Gema terhenti tatkala ia melihat Maira yang menatapnya dengan kebingungan, tampak menggemaskan dimatanya. 

Titik Rindu ; Mina x MingyuWhere stories live. Discover now